Kamis, 08 Juni 2017

Obral Janji (?)

Gambar dari https://ultimatesammy.files.wordpress.com/2015/02/ini-tips-ylki-agar-tak-terjebak-obral-diskon-saat-ramadan.jpg

Mana janji manismu?
Setia sampai aku mati
Kini engkau pun pergi
Saat 'ku jatuh dan sendiri

Mana janji manismu?
Mencintaiku sampai mati
Kini engkau pun pergi
Saat 'ku terpuruk sendiri

(Nidji - "Sang Mantan")

You sing, you.... Apa hayo?

Akan tetapi, ini nyata terjadi. Dari sini, ada kritik dan saran yang ingin saya sampaikan, terutama karena saya sendiri adalah seorang mahasiswa.

Sebagai salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi, pengabdian masyarakat bukanlah sesuatu yang asing bagi kita semua. Apa sebenarnya pengabdian masyarakat itu? Pengabdian berasal dari kata 'abdi' yang berarti orang bawahan, pelayan, atau hamba. Pengabdian adalah proses, cara perbuatan mengabdi atau mengabdikan. Sementara itu, masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama (KBBI). Jadi, yang saya simpulkan adalah pengabdian masyarakat merupakan proses melayani sejumlah manusia--banyak manusia--yang berada dalam suatu ikatan tertentu. Mengenai ikatan kebudayaan itu sendiri, apa sebenarnya yang mengikat kita? Kebudayaan Indonesia, bukan?

Saya mau tanya, nih. Apakah kita sudah mengenal diri kita sendiri? Apakah kita sudah mengenal negeri kita sendiri kalau begitu? Well, kita ini rakyat Indonesia. Kita wajib mengenal Indonesia. Teruntuk para aktivis di sana, bertanyalah pada diri kalian sendiri. Sudah se-lupa-daratan apakah kalian saat memperjuangkan hak rakyat? Bahkan, ada yang pernah bilang, "Jangan mengatasnamakan rakyat Indonesia kalau kita tidak pernah menjelajahi Indonesia." Ya, dengan menjelajahi Indonesia, kita tahu seluk-beluk suatu daerah dan apa yang dibutuhkan daerah itu. Tenang, selama waktu masih ada, pasti ada yang dapat kita lakukan.

Kita kembali lagi ke masalah pengabdian masyarakat. Selama ini, pengabdian masyarakat hanya sebatas hal-hal yang eventual, sekali dilakukan dan sudah selesai. Padalah, pengabdian masyarakat, sesuai definisinya sendiri, seharusnya berkelanjutan karena itu adalah proses. Yha, beruntunglah jika di himpunan mahasiswa jurusan terdapat proker mengurus desa binaan yang bisa diteruskan hingga ke badan pengurus selanjutnya dan selanjutnya lagi. Oke, waktu kita terbatas (karena dikejar deadline dan "Itu, tuh, tugas osjur!"). Untuk mengakalinya, kita mundur ke dua Tri Dharma lainnya, pembelajaran dan penelitian.

Yang pertama adalah pembelajaran. Pembelajaran ini berdasarkan hardskill dan softskill. Kita asah kemampuan dan belajar dengan giat. Di kampus pasti terdapat sarana dan fasilitas untuk mengembangkan diri. Lakukanlah banyak pembinaan diri. Siapa lagi yang tahu diri kita kalau bukan diri kita sendiri? Kita harus berilmu terlebih dahulu sebelum beramal, benar?

Selanjutnya adalah penelitian. Penelitian bukan berarti harus di dalam laboratorium, kok. Modal yang kita perlukan adalah tidak menjadi apatis terhadap lingkungan sekitar. Coba tanyakan masyarakat yang ada di suatu daerah. Pasti ada sesuatu yang dibutuhkan sehingga kita tidak hanya mencari-cari masalah di sana tanpa mengusahakan solusinya. Harus ada koordinasi yang baik antara kita dan masyarakat. Kita memang butuh melakukan pencerdasan kepada masyarakat agar mereka bisa berusaha mengurus sendiri bantuan yang telah kita berikan dan lebih mandiri pada akhirnya.

Tiga hal di Tri Dharma Perguruan Tinggi saling berkaitan satu sama lainnya. Itu semua sudah sepaket. Sebagai mahasiswa, kita harus mendalaminya. Nah, kalau begitu, tidak akan kacau. Kita tidak bakal memberi janji-janji palsu.

Lagipula, masak iya, menjadi mahasiswa sudah berjanji ini-itu tetapi tidak ditepati. Pengabdian masyarakat yang seharusnya membantu masyarakat malah mengorbankan masyarakat. Akhirnya, kita yang dituntut. Masyarakat datang untuk menagih janji kita. Jadilah hal seperti lirik lagu di atas terjadi. "Mana? Mana yang kalian, para mahasiswa, janjikan?" Lalu, kita dianggap "mantan penyelamat". Inilah mengapa saya singgung mengenai mengenal diri sendiri dan negeri kita ini. Kalau kita tidak mengenal diri sendiri, bagaimana kita mengetahui potensi, posisi, dan peran kita? Bagaimana kita bisa berbuat untuk negeri ini?

Menjadi bagian dari masyarakat memang tidak semudah yang kita sangka. Akan tetapi, namanya juga proses, kita wajib terus bertindak. Jangan hanya berjanji, tetapi lakukanlah sesuatu untuk perubahan yang lebih baik. Mungkin, kita tidak merasakannya secara cepat, tetapi nanti pasti ada hasilnya. Namun, kita tetap harus mengambil tindakan. Kalau yang kita beri hanyalah janji, apa bedanya kita dengan oknum-oknum yang suka mengumbar janji tanpa bukti?

Jangan sampai seperti ini.
Gambar dari https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1fepWCrpnk04-vQzYwAsXqDruioKJlsvPu2VbjB9Pcf6PKotB2qYgCkWtkDjiDE08zUOYztAQn1cyBikjUNdHSO080mIBINT_SIXmHwHt_MkdZdUwjS16vzYQluClEP8V-kQCDmFDYZfX/s1600/30.jpeg

Kalian boleh malu jika kalian tidak pernah melakukan apa-apa yang bermanfaat untuk orang banyak. Namun, seharusnya, kalian lebih malu lagi jika kalian berjanji tetapi tidak pernah merealisasikannya.

(Oleh: Aisy Diina Ardhantoro, orang yang berusaha menepati janji)

#ntms
#MozaikPergerakan
#DariKitaUntukIndonesia
#IndonesiaTetapBersatu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar