Jumat, 07 Mei 2021

Mengapa Kebijakan Pangan di Indonesia Belum Memadai?

Dahulu, aku pernah menulis tentang diversifikasi pangan yang merupakan kunci dari kesejahteraan pangan di Indonesia. Indonesia yang memiliki kekayaan alam berpotensi untuk mewujudkan diversifikasi pangan tersebut. Namun, sejauh ini, dampak dari diversifikasi pangan belum tampak adanya padahal sudah lama pemerintah Indonesia berupaya mencanangkannya. Hal tersebut bisa jadi disebabkan upaya pemerintah untuk mewujudkan diversifikasi pangan masih terhalang langkah-langkah politis yang sekiranya malah menghambat kesejahteraan pangan. Bagaimana itu bisa terjadi?
 
Jadi, aku habis membaca "Has Indonesian Food Policy Failed?" oleh Wihardja (2019) dalam buku The Indonesian Economy in Transition. Indonesia memiliki tujuan yang cukup tinggi dan sudah merumuskan apa saja yang perlu dicapai untuk meningkatkan kesejahteraan pangan. Semua itu sudah ada di ketentuan hukum Indonesia terutama di dalam sistem perundang-undangannya. Berikutnya nanti akan tersebut beberapa undang-undang yang mengatur tentang pangan di Indonesia.
 
UU No. 18 Tahun 2012 Tentang Pangan menguraikan delapan prinsip penyelenggaraan pangan negeri. Kedelapan prinsip tersebut adalah
  • kedaulatan (sovereignty),
  • kemandirian (independence),
  • ketahanan (security),
  • keamanan (safety),
  • manfaat (benefits),
  • pemerataan (equality),
  • keberlanjutan (sustainability), dan
  • keadilan (justice).
Kalau dari yang pernah aku pelajari selama kuliah, beberapa definisi dari istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut:
  • Kedaulatan Pangan
Berdasarkan UU No. 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Bab I, Pasal 1: Hak negara dan bangsa yang secara mandiri dapat menentukan kebijakan pangannya, yang menjamin hak atas pangan bagi rakyatnya, serta memberikan hak bagi masyarakatnya untuk menentukan sistem pertanian pangan yang sesuai dengan sumber daya lokal.
  • Kemandirian Pangan
Berdasarkan UU No. 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Bab I, Pasal 1: Kemampuan produksi pangan dalam negeri yang didukung kelembagaan ketahanan pangan dalam negeri yang mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup di tingkat rumah tangga, baik dalam jumlah, mutu, keamanan, maupun harga terjangkau, yang didukung oleh sumber-sumber pangan yang beragam sesuai dengan keragaman lokal.
  • Ketahanan Pangan
Berdasarkan UU No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan Bab I, Pasal 1: Kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Indikator di antaranya adalah kecukupan jumlah (kuantitas), kecukupan mutu, kecukupan gizi, dan keamanan (safety). Faktor-faktor yang menyebabkan suatu negara tidak memiliki ketahanan pangan adalah
  1. kemiskinan yang mengakibatkan keterbatasan warga miskin untuk memenuhi atau membeli makanan yang cukup;
  2. kekacauan politik, perang, korupsi, dan musim yang buruk seperti musim kemarau yang panjang atau gelombang panas;
  3. permasalahan sistem distribusi dan transportasi makanan;
  4. masalah penyimpanan bahan makanan.
  • Keamanan Pangan
Berdasarkan UU No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan Bab II, Pasal 4: Kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lainyang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.
  1. Kondisi: Terpenuhinya semua persyaratan yang berhubungan khusus dengan karakteristik bahan pangan yang memiliki potensi membahayakan terhadap kesehatan atau menyebabkan penyakit dan bahaya pada konsumen.
  2. Upaya: Program standardisasi mutu, pengawasan mutu, dan sistem penjaminan mutu.
 
Beberapa prinsip mungkin ada yang sudah bisa dipenuhi oleh Indonesia, tetapi ada juga yang belum. Pemerintah memang sudah menyediakan anggaran biaya lebih banyak daripada tahun-tahun sebelumnya untuk meningkatkan ketersediaan dan aksesibilitas pangan. Namun, implementasi dan operasional yang terjadi melalui program-program kementerian menjadi permasalahan yang patut diperhatikan. Tujuan pemerintah tentang pangan yang seharusnya meningkatkan produksi beras (padi) dan bahan makanan lain, meningkatkan kualitas nutrisional pangan dan konsumsi makanan, meningkatkan efisiensi sistem akses dan distribusi pangan, dan memperbaiki manajemen produksi pangan masih belum terlalu terasa dampaknya saat ini. Ada hal-hal dalam pelaksanaan mencapai target kedaulatan pangan masih dinilai buruk karena pada dasarnya, agar ekonomi negara (terutama dalam pangan) tetap berjalan, kesejahteraan produsen dan konsumen harus dipertimbangkan.

Kesejahteraan Produsen (Petani dan Seluruh Pihak dalam Rantai Pasok Pangan)
Di Indonesia, perjalanan dari produsen ke konsumen (farm-to-fork) terbilang sangat panjang sehingga banyak kebutuhan pihak selama distribusi barang yang harus dipenuhi. Hal tersebut memengaruhi pendapatan pihak-pihak produsen dan kualitas produk pangan yang bersangkutan tentunya. Pendapatan pihak-pihak produsen harus dibagi-bagi dan itu tidak terlalu meningkatkan kompetisi antarprodusen karena adanya monopoli mengakibatkan sedikitnya produsen, tetapi banyaknya distributor, dan area distribusinya pun terbatas, terutama produk impor. Kualitas produk pangan, terutama produk segar, pun dapat menurun seiring berjalannya waktu sehingga berpengaruh pada harga jual produk (produk berkualitas tinggi akan dihargai tinggi dan sebaliknya). Maka dari itu, ada baiknya memotong jalur (cut out) rantai pasok sehingga anggaran yang terpakai tidak dititikberatkan pada bagian distribusi pangan saja.

Rendahnya kesejahteraan produsen juga disebabkan penggunaan mesin dan mekanisasi yang masih terbatas sehingga alokasi anggaran bayaran buruh tani (manusia) menjadi sangat tinggi. Kapasitas produksi yang disediakan sudah sangat meningkat dari tahun ke tahun, tetapi jumlah hasil produksi belum bisa mengimbangi kapasitas produksinya, sangat jauh di bawahnya. Biaya produksi besar tanpa alsintan, produktivitas lahan pun tidak bertambah. Ditambah lagi, rasio harga yang harus dibayarkan oleh petani dan upah buruh tani yang dibayarkan makin membesar. Jika seperti ini terus, akan semakin banyak buruh tani yang malah tidak dibayar.

Kesejahteraan Konsumen
Sebagai pihak yang paling membentuk pasar, tentu saja kesejahteraan konsumen berpengaruh. Harga jual produk pangan yang terlalu tinggi menunjukkan biaya produksi yang terlalu tinggi juga. Sementara itu, harga produk pangan yang lebih tinggi mengurangi daya beli konsumen. Hal tersebut disebabkan harga eceran produk pangan tertinggi yang naik. Pemerintah membuat peraturan penentuan harga eceran untuk membedakan kualitas produk, tetapi itu dapat merugikan konsumen, terutama yang berasal dari kalangan sosio-ekonomi di bawah. Maka dari itu, penentuan harga grosiran produk pangan pun diberlakukan. Namun, harga jual produk pangan tetap tinggi untuk produk kualitas medium ke premium karena harga grosiran jauh lebih tinggi daripada harga eceran. Dari sini tersorot regulasi penentuan harga oleh pemerintah yang tidak efektif, mendistorsi pasar dan insentif petani dan pihak produsen lainnya, serta merusak iklim usaha.

Faktor-faktor Lain
Selain masalah kesejahteraan produsen dan konsumen, disebutkan penyebab kebijakan pangan Indonesia belum memadai karena beberapa faktor di dalam pihak berwajib yang membuat kebijakan-kebijakan pangan ini. Faktor-faktor tersebut adalah
  • (Mis)interpretasi kementerian akan tujuan-tujuan tingkat tinggi
    • Kekurangan data berkualitas tinggi
    • Kekurangan pendeteksi peringatan awal bila ada krisis
    • Kebijakan pangan ad hoc, tidak menyeluruh
    • Pembuatan kebijakan yang reaktif, tidak responsif
    • Pelaksanaan kebijakan yang sporadis di berbagai kalangan pemerintahan, termasuk keterlibatan militer dan kepolisian yang membuat bisnis pangan di Indonesia terkendala
  • Ketidaksesuaian anggaran dan tujuan yang ingin digapai
  • Ketidakselarasan kebijakan dan program pertanian, industri, dan perdagangan
  • Kekurangan kompetisi pasar pangan
 

Solusi


Solusi yang dapat dilakukan perlu untuk menyeimbangkan kesejahteraan konsumen dan produsen. Dengen begitu, akan sangat mudah untuk membaca permintaan pasar sehingga produsen tahu mana yang harus ditawarkan. Selain itu, perlu adanya perbaikan kualitas data, alokasi biaya yang seimbang serta monitor program dan kebijakan yang sesuai, peningkatan peran di sektor bisnis privat, dan investasi di penelitian dan teknologi untuk pangan.

Menurutku, keterlacakan produk dari hulu ke hilir dapat menjadi solusi untuk menstabilkan permintaan dan penawaran produk pangan. Hal itu mampu mengefektifkan pemberian insentif bagi buruh karena jelas sumber pemasukannya dari mana. Oleh karenanya, peningkatan volume produksi pangan lokal dan nasional perlu diberi perhatian lebih supaya mampu menyaingi volume impor produk pangan. Dengan banyaknya lahan yang telah beralih fungsi, kita dapat menggunakan lahan marginal yang dapat dibuat produktif dan menerapkan urban farming bila tinggal di perkotaan. Pilihlah organisme penghasil pangan yang mudah beradaptasi dengan lingkungannya.

Untuk mewujudkan program tentang pangan, pemerintah juga harus membuat road map kebijakan pangan yang visioner agar tergambar rencana ke depannya dan memastikan pelaksanaannya konsisten. Membahas pangan tidak lepas dari budaya, sosial, ekonomi, dan politik manusia. Sumber daya manusia diperlukan untuk mengimbangi sumber daya alam terutama dalam membentuk tenaga kerja produktif dari bonus demografi. Karena adanya peningkatan jumlah penduduk di Indonesia, akan lebih baik pemerintah mendorong pemanfaatan bioteknologi dalam produksi makanan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas (fisik dan nutrisional) pangan. Dengan begitu, para pelaku industri pangan di Indonesia dapat dinilai cerdas dan kompeten dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Sumber:
Wihardja, M. M. (2019). Has Indonesian Food Policy Failed? In H. Hill & S. D. Negara. The Indonesian Economy in Transition (pp. 385—413). Singapore: ISEAS Publishing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar