Rabu, 05 Mei 2021

Bioteknologi Makanan

[ASEM! ASEM!]


Begitulah yang mungkin kalian rasakan tiap kali mencicipi makanan-makanan yang diolah dengan memakai fermentasi. Fermentasi sendiri merupakan salah satu contoh bioteknologi yang diterapkan pada bahan pangan. Tapi, apa, sih, bioteknologi itu sebenarnya? Bioteknologi merupakan gabungan dari kata bio dan teknologi yang berarti teknologi yang memanfaatkan agen hayati untuk memenuhi kebutuhan manusia, baik barang maupun jasa, pada umumnya. Agen hayati ini tentu saja yang tersedia di alam dan biasanya merupakan organisme hidup. Untuk mengetahui mengenai fermentasi sebelumnya, silakan lihat di tautan ini. Di sini, saya hanya akan menjabarkan beberapa contoh pangan yang memanfaatkan bioteknologi.

Mengenal Kimchi
Kimchi adalah makanan khas Korea yang merupakan sayuran (sawi, kol, lobak, wortel, dsb.) yang dicampur bumbu-bumbu (bubuk cabe, jahe, daun bawang atau bawang prei) dan sumber karbohidrat (nasi, tepung beras, atau tepung terigu) lalu difermentasi. Fermentasi yang berlangsung pada kimchi termasuk fermentasi alami karena fermentasi yang terjadi disebabkan oleh agen mikrobiologis dan zat-zat yang sudah terkandung dalam sayuran dan bumbu-bumbu tanpa perlu tambahan kultur bakteri fermentasi lainnya. Berkat fermentasi, kimchi menjadi terasa agak asam.

Bakteri yang berperan dalam fermentasi adalah kebanyakan bakteri asam laktat (BAL), sesuai dengan namanya yang membuat rasa kimchi asam. Beberapa jenis bakteri yang terlibat di antaranya adalah Leuconostoc mesenteroides untuk pengondisian pertumbuhan BAL lainnya (menghasilkan asam laktat dan mengeluarkan karbondioksida sehingga keadaan menjadi anaerob dan lebih asam), Streptococcus sp. di tahap awal fermentasi, Pediococcus sp. di tahap pertengahan, serta Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus brevis di tahap akhir fermentasi untuk "mematangkan" dan memberi cita rasa khas kimchi. Sebelumnya, sayur-sayuran direndam dulu dalam air garam lalu baru diberi bumbu. Hal tersebut dilakukan untuk mengeluarkan substrat nutrisi untuk digunakan bakteri fermentasi dalam bertumbuh dari sayuran karena ketidakseimbangan osmotik yang menyebabkan air dan nutrien dari sayuran keluar (plasmolisis). Selain itu, perendaman dengan air garam akan menciptakan lingkungan selektif yang hanya BAL saja yang bisa hidup. Bakteri aerob, terutama yang patogenik, membusukkan, atau mengganggu, pun tidak bisa tumbuh. Perendaman dalam air garam menjadi langkah yang krusial untuk mengawetkan sayuran dalam pembuatan kimchi selain  mengatur suhu untuk memfermentasi[1].

Dalam memproses sayuran menjadi kimchi, keadaan anaerob sangatlah dibutuhkan. Makanya, sayuran dalam wadah pembuatan kimchi harus memenuhi dan memadati (bahasa Sunda-nya: didedetin) wadahnya agar meminimalkan udara di wadah. Jika dibuat dalam skala besar, sayur-sayuran diinkubasi dalam tong khusus fermentasi. Sangat diusahakan agar tidak ada udara yang masuk ke dalam tempat fermentasi kimchi.

Sebenarnya, mungkin kita pernah mendengar sayuran fermentasi lain seperti acar dan sauerkraut. Terlepas dari apa saja bahan yang digunakan, prinsip membuatnya sama. Saya punya seluruh resepnya di sini.
 
Yoghurt dan Minuman-minuman Probiotik yang Unik
Yoghurt terbuat dari susu yang difermentasi oleh bakteri Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus bulgaricus, dan Streptococcus thermophilus. Pada dasarnya, yoghurt merupakan susu yang mengalami koagulasi dan mengental sehingga yoghurt disebut produk fermentasi susu semi padat. Susu yang dapat digunakan adalah susu dari mana saja dan jenis apa saja, bahkan susu dari kacang-kacangan dan santan (coconut milk). Susu merupakan minuman yang mengandung protein dan laktosa (gula susu). Protein dalam susu membuat kondisi yang cocok untuk pertumbuhan bakteri pemfermentasi. Laktosa adalah yang didegradasi oleh bakter-bakteri pemfermentasi. Bakteri-bakteri pemfermentasi menghasilkan asam laktat yang membuat rasa yoghurt agak asam. Karena laktosa dalam susu dirombak, yoghurt aman untuk dikonsumsi orang yang lactose intolerant.

Bakteri dalam yoghurt bermanfaat untuk kesehatan manusia sehingga yoghurt termasuk minuman probiotik. Selain berbahan dasar susu, minuman probiotik juga dapat berbahan dasar nanas atau air kelapa muda. Prinsip pembuatan minuman probiotik lainnya sama dengan pembuatan yoghurt, yaitu fermentasi dengan BAL tertentu[2][3][4]. BAL dapat diisolasi dari minuman probiotik yang sudah ada[5]. Belum ada yang mencoba membuat minuman probiotik dari bahan sari buah-buahan ini dengan metode fermentasi backslopping (memakai sedikit produk hasil fermentasi yang berhasil sebagai sumber bakteri) karena acuan yang ada untuk membuat minuman probiotik dari bahan buah-buahan adalah secara terkontrol (menginokulasi kultur bakteri langsung ke bahan)[6] sementara yoghurt (skala rumahan) bisa dibuat secara backslopping. Akan tetapi, metode fermentasi backslopping membutuhkan perbandingan yang tepat dan lebih berisiko terkontaminasi.

Jeli-jeli Mengapung
Disebut 'jeli' karena teksturnya agak kenyal. Inilah jeli-jeli yang dibuat dengan memanfaatkan fermentasi, contohnya yaitu nata de coco. Nata de coco berarti 'krim kelapa' dalam bahasa Spanyol. 'Nata' juga bisa diambil dari kata bahasa Latin, natare, yang artinya 'berenang'. Nata de coco dibuat dengan menggunakan bakteri Acetobacter xylinum yang merupakan bakteri asam asetat. Bakteri A. xylinum yang didapat dari asam asetat (cuka) ditambahkan ke air kelapa muda yang diperkaya karbon dan nitrogen melalui proses yang terkontrol. Bakteri A. xylinum akan membuat serat-serat selulosa yang terhubung sehingga membentuk lembaran nata seperti jeli.

Sebenarnya, ada satu macam jeli lagi yang diperoleh dengan fermentasi, yaitu nata de cacao. Berbeda dengan nata de coco, bahan baku nata de cacao adalah pulp buah kakao yang telah terpisahkan dari bijinya. Pulp buah kakao sering dijadikan limbah begitu saja padahal rasanya sangat manis. Maka dari itu, pulp buah kakao dimanfaatkan untuk membuat produk nata de cacao ini. Pulp yang berwarna putih itu difermentasi juga oleh A. xylinum. Untuk itu, pulp buah kakao juga perlu diperkaya dengan nitrogen dan karbon[7].

Fermentasi untuk Membuat Roti
Selain makanan-makanan di atas, makanan lain yang juga memanfaatkan fermentasi adalah roti. Roti adalah makanan berbahan dasar utama tepung terigu dan air yang difermentasikan agar mengembang. Roti membutuhkan pengembang biologis, di antaranya adalah ragi dan adonan biang sourdough. Kedua pengembang tersebut memfermentasi bahan-bahan roti yang mengandung karbohidrat sehingga menghasilkan karbondioksida yang membuat roti mengembang dan memiliki struktur khas di dalamnya (dari "gelembung-gelembung" udara yang terperangkap dalam adonan). Ragi adalah pengembang kue berbentuk butiran serbuk yang terdiri dari mikroorganisme khamir (sejenis jamur mikroskopik). Khamir yang paling umum digunakan menjadi ragi adalah Saccharomyces cerevisiae. Ada tiga jenis ragi yang dikenal: ragi kering aktif (dry active yeast), ragi instan (instant yeast), dan ragi segar (fresh yeast). Ragi kering aktif dibuat dari banyak khamir yang disatukan, dikeringkan sebagian hingga mencapai kekeringan tertentu, lalu digiling. Untuk menggunakan ragi kering aktif, ragi harus dilarutkan dalam air atau susu hangat agar ragi dapat bekerja lalu dibiarkan beberapa saat hingga larutan muncul gelembung-gelembung kecil. Fermentasi (proofing) adonan pun mungkin perlu dilakukan lebih dari satu kali. Ragi instan adalah ragi kering aktif yang digiling lebih halus sehingga pemakaiannya tidak perlu dilarutkan dalam air atau susu hangat (walau masih memungkinkan untuk melakukannya). Fermentasi proofing yang dilakukan ragi instan juga cenderung lebih cepat sehingga cukup hanya sekali atau lebih sebentar. Terakhir, ragi segar, disebut juga ragi terkompresi (compressed yeast) atau ragi kue (cake yeast) karena bentuknya mirip kue, adalah ragi padatan yang terdiri dari campuran khamir dan air yang dipadatkan ke bentuk balok. Ragi segar merupakan ragi dengan kandungan air yang paling banyak, makanya harus disimpan dalam kulkas dan tidak begitu tahan lama[8]. Oh ya, ragi juga digunakan dalam pembuatan tempe, tapai, dan minuman (keras beralkohol: bir, anggur, dan lain-lain, kombucha, kefir, dll.) untuk fermentasinya juga.

Sementara itu, adonan biang sourdough terbuat dari campuran tepung terigu dan/atau tepung gandum utuh yang difermentasi secara alami oleh bakteri lactobacillaceae (BAL) dan ragi alami yang terdapat pada gandum. Ragi alami dan BAL beserta enzim amilase juga akan memecah karbohidrat kompleks menjadi karbohidrat yang lebih sederhana dan menghasilkan karbondioksida. Karbondioksida yang dihasilkan akan membuat adonan roti mengembang. Karena adanya BAL, rasa roti ini akan sedikit lebih asam seperti namanya, sourdough[9]. Setiap setelah digunakan dan difermentasikan secara berkala, adonan biang sourdough harus diberi "makan" air dan tepung lagi agar tetap "hidup". Adonan biang sourdough dapat dibuat sendiri di rumah dengan menggunakan nisbi tertentu dari tepung dan air. (Jika ingin tahu cara membuat adonan biang sourdough, silakan lihat di sini.)
 
Fermentasi pada Pascapanen
Fermentasi tidak hanya digunakan dalam pengolahan sekunder bahan pangan untuk membuat produk jadi. Ada juga komoditas yang memerlukan fermentasi dalam pengolahan primernya. Komoditas itu adalah kopi dan kakao. Untuk kopi, fermentasi dilakukan pada pengolahan kopi metode basah (wet method) setelah proses pulping, yaitu mengupas buah ceri kopi untuk mendapatkan bijinya. Biji kopi yang basah setelah di-pulping akan difermentasikan secara alami oleh mikroorganisme dan zat kimiawi yang ada pada buah ceri dan biji kopi untuk mendegradasi lendir (mucilage) pada biji kopi. Fermentasinya pun terbagi menjadi dua, yaitu fermentasi basah (wet method-wet fermentation) dan fermentasi kering (wet method-dry fermentation). Fermentasi basah dilakukan dengan menambahkan air sehingga biji kopi difermentasi dalam rendaman air. Fermentasi kering tidak menggunakan air untuk merendam biji kopi agar terfermentasi (lagi pula biji kopinya basah). Setelah difermentasi, biji kopi akan dicuci dari sisa lendir dan dikeringkan hingga mencapai kadar air tertentu. Memang, ada jenis kopi yang tidak melalui tahap fermentasi untuk menghilangkan lendir setelah pulping lalu langsung dikeringkan dan itu adalah kopi jenis honey processed coffee (wet method-honey process)[10]. Perbedaan pada proses pengolahan itulah yang mengakibatkan kopi menjadi minuman yang kaya rasa dan beragam jenisnya.

Untuk kakao, dalam proses pengolahan primernya, fermentasi menjadi tahap penting untuk membentuk rasa khas coklat. Buah coklat dikeluarkan isinya dan difermentasi selama masih ada lendir buahnya atau pulp selama beberapa kali dalam rentang waktu tertentu. Pulp buah kakao yang mengandung air, glukosa, fruktosa, sedikit pati, dan asam sitrat akan membantu fermentasi alami biji coklat[11]. Fermentasi ini dibutuhkan agar rasa coklat tidak sepat dan pahit serta bertekstur pejal sehingga sulit diproses[12]. Kemudian, biji coklat akan dibersihkan. Setelah dibersihkan dari sisa pulp-nya (yang dapat dijadikan nata de cacao seperti di atas), biji coklat dikeringkan, baik dengan cara dijemur di bawah sinar matahari maupun menggunakan alat pengering. Biji-biji coklat itulah yang nantinya diolah di pabrik untuk dijadikan makanan coklat seperti yang kita tahu.

Produk GMO (Genetic Modified Organisms)
Produk-produk pangan sebelumnya memanfaatkan bioteknologi konvensional. Produk pangan GMO, atau pangan rekayasa genetika (genetically modified foods atau genetically engineered foods) memanfaatkan bioteknologi modern. Apa bedanya? Yang membedakan adalah bagaimana pemanfaatan agen hayatinya. Bioteknologi konvensional hanya memanfaatkan kinerja agen hayati tanpa merekayasa agen hayatinya sementara bioteknologi modern memanfaatkan kinerja agen hayati dan komponen yang terkandung dalam agen hayati tersebut serta merekayasanya. Selain itu, produk bioteknologi modern lebih mudah diproduksi secara masal. Untuk produk GMO, yang direkayasa adalah produknya sendiri atau sumber/tanaman asal produk tersebut karena bahan pangan itu berasal dari suatu makhluk hidup. Yang dilakukan untuk membuat GMO adalah memodifikasi substansi genetika tertentu sehingga ekspresi suatu sifat dapat disembunyikan/dimunculkan. Ada beberapa metode yang dapat dilakukan:
  • Pemuliaan konvensional: persilangan tanaman
  • Pemuliaan dengan media Agrobacterium
  • Insersi DNA rekombinan ke dalam sel
    • Insersi alami: transformasi, transduksi, dan konjugasi
    • Insersi buatan: elektroporasi, fusi protoplas, injeksi dengan senjata gen, dan mikroinjeksi
  • Mutasi dengan energi radiasi

Apa saja hasil dari GMO? Ada tanaman pangan yang tidak bisa diserang hama[13], buah-buahan yang tidak cepat mengalami pembusukan (seperti pisang[14] dan tomat[15]), padi emas (golden rice) yang mengandung vitamin A tambahan[16], pencegahan kerusakan fisiologis dan kimiawi singkong[17][18] dan lain-lain. Sebagai GMO, makanan dan bahan pangan bertambah fungsionalitasnya dan meningkat kualitasnya. GMO bisa menjadi salah satu solusi untuk kasus malnutrisi dan pemanfaatannya mampu mempermudah penanganan pascapanen.

Hal yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai GMO ini tercampur dengan organisme yang tidak direkayasa karena akan menyebabkan pencemaran genetika (kecuali jika sedang dalam sebuah penelitian tertentu untuk melakukan kombinasi unsur genetik). Produk GMO harus diberi label khusus yang membedakan dari produk lainnya di pasaran. Selain itu, regulasi mengenai prosedur komersialisasi produk GMO juga harus ditetapkan dan diawasi pelaksanaannya.

Peran dan Potensi Bioteknologi dalam Pangan Zaman Ini

 
Bioteknologi makanan sangat dibutuhkan untuk ketahanan pangan saat ini. Dengan tingginya potensi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati, bioteknologi dipercaya mampu meningkatkan kualitas bahan pangan dan memperbanyak hasil produksinya. Tidak mengherankan jika bioteknologi memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Jika pemanfaatan bioteknologi ini dilakukan sebaik-baiknya, perputaran ekonomi sebuah negara dapat berjalan lancar. Komoditas hasil bioteknologi pangan dapat diperdagangkan, mulai dari perdagangan lokal, regional, hingga internasional. Namun, untuk mewujudkan hal tersebut, penelitian lanjut mengenai bioteknologi masih perlu dilakukan. Ada faktor-faktor yang menjadi penunjang bioteknologi pada umumnya yang juga dibutuhkan di bidang pangan[19]:
  • Manusia
    • Hukum
    • Kebudayaan
    • Demografi
    • Pendidikan
  • Modal
  • Mesin
  • Metode
  • Market/pasar
  • Material
Untuk saat ini, pemenuhan faktor-faktor penunjang bioteknologi dan penelitian mengenai bioteknologi perlu dilakukan secara paralel. Tentunya, pemerintah memiliki andil dalam hal ini. Pemerintah perlu mendukung upaya mewujudkan ketahanan pangan negara dengan memberi perhatian terhadap penelitian bioteknologi pangan. Jika sudah terdapat program pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan negara, pemerintah perlu memanfaatkan peran dan potensi bioteknologi pangan ini. Selain itu, pemerintah juga memiliki wewenang sebagai pembuat kebijakan. Pemerintah dapat membuat kebijakan yang mempermudah akses pengembangan bioteknologi pangan dan pencerdasan kepada masyarakat bahwa bioteknologi pangan ini dapat terjamin keamanannya. Dengan begitu, rakyat akan tercukupi nutrisinya, sehat, dan sejahtera sehingga negara pun stabil. Bukankah makanan adalah kebutuhan paling dasar manusia?

Referensi:
[1] Lestari, C., Suhaidi, I., & Ridwansyah, R. (2017). Pengaruh Konsentrasi Larutan Garam dan Suhu Fermentasi Terhadap Mutu Kimchi Lobak. Jurnal Rekayasa Pangan dan Pertanian, 5(1), 3441.
[2] Rizal, S., Erna, M., Nurainy, F., & Tambunan, A. R. (2016). Karakteristik Probiotik Minuman Fermentasi Laktat Sari Buah Nanas dengan Variasi Jenis Bakteri Asam Laktat. Jurnal Kimia Terapan Indonesia (Indonesian Journal of Applied Chemistry), 18(1), 6371.
[3] Elsaputra, E., Pato, U., & Rahmayuni, R. (2016). Pembuatan Minuman Probiotik Berbasis Kulit Nanas (Ananas Comosus (L.) Merr.) Menggunakan Lactobacillus casei Subsp. casei R-68 yang Diisolasi dari Dadih. Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Riau, 3(1), 19.
[4] Yanuar, S. E., & Sutrisno, A. (2014). Minuman Probiotik dari Air Kelapa Muda dengan Starter Bakteri Asam Laktat Lactobacillus casei. Jurnal Pangan dan Agroindustri, 3(3), 909917.
[5] Ibid.
[6] Fitri, E. D. W. A. F., & Lestari, E. (2012). Suplementasi Probiotik (Lactobacillus plantarum) dalam Sari Buah Sebagai Alternatif Produk Pangan Fungsional. Farmasains: Jurnal Farmasi dan Ilmu Kesehatan, 2(1), 15.
[7] Nurfaillah, N., Masri, M., Sari, E. R., & Patang, P. (2018). Pemanfaatan Limbah Pulp Kakao Menjadi Nata De Cacao. Jurnal Pendidikan Teknologi Pertanian, 4(2), 2433.
[8] Xie, J. (2020). What Is Yeast? - Types of Yeast for Baking and Cooking: Every Question You've Ever Had About Yeast, Answered. [Online]. Diakses dari https://www.delish.com/kitchen-tools/a31956082/what-is-yeast/ pada 4 Maret 2021.
[9] Decock, P., & Cappelle, S. (2005). Bread technology and sourdough technology. Trends in Food Science & Technology, 16(13), 113120.
[10] Abduh, M. Y. (2018). Dari ITB untuk Indonesia: Biorefinery Kopi. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
[11] Nurfaillah, N., Masri, M., Sari, E. R., & Patang, P., Loc.Cit.
[12] Sigalingging, H. A., Putri, S. H., & Iflah, T. (2020). Perubahan Fisik dan Kimia Biji Kakao Selama Fermentasi (pH Tumpukan Biji, Kadar Air, Indeks Fermentasi, Kadar Abu dan Uji Grade Biji). Jurnal Industri Pertanian, 2(2), 159165. 
[13] Amirhusin, B. (2004). Perakitan tanaman transgenik tahan hama. Jurnal Litbang Pertanian, 23(1), 17.
[14] Prayuni, K., & Dwivany, F. M. (2015, September). Optimatization of transient transformation methods to study gene expression in Musa acuminata (AAA group) cultivar Ambon Lumut. AIP Conference Proceedings, 1677(1), 14.
[15] Chaves, A. L. S., & Mello-Farias, P. C. D. (2006). Ethylene and fruit ripening: from illumination gas to the control of gene expression, more than a century of discoveries. Genetics and Molecular Biology, 29(3), 508515.
[16] Paine, J. A., Shipton, C. A., Chaggar, S., Howells, R. M., Kennedy, M. J., Vernon, G., ... & Drake, R. (2005). Improving the nutritional value of Golden Rice through increased pro-vitamin A content. Nature biotechnology, 23(4), 482487.
[17] Zainuddin, I. M., Fathoni, A., Sudarmonowati, E., Beeching, J. R., Gruissem, W., & Vanderschuren, H. (2018). Cassava post-harvest physiological deterioration: From triggers to symptoms. Postharvest Biology and Technology, 142, 115123.
[18] Liu, S., Zainuddin, I. M., Vanderschuren, H., Doughty, J., & Beeching, J. R. (2017). RNAi inhibition of feruloyl CoA 6′-hydroxylase reduces scopoletin biosynthesis and post-harvest physiological deterioration in cassava (Manihot esculenta Crantz) storage roots. Plant molecular biology, 94(12), 185195.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar