Selasa, 25 Mei 2021

Poliamori (Bagian 1)


 



Kamu, yang dingin dan isis dengan adanya rasa manis-pahit dari kepingan-kepingan coklat yang kecil seperti es krim mint chocolate chip. Kamu, yang manis dengan selai stroberi ditambah kejutan rasa potongan dan serpihan kue keju yang tidak terduga seperti es krim strawberry cheesecake. Kamu, yang terasa asam, menyengat, tetapi menyegarkan seperti es krim lemon. Kamu, yang dapat mengasuh tiga rasacoklat, vanila, dan stroberisekaligus sehingga tampak komplit dan triwarna seperti es krim neapolitan. Kamu, es krim yang mengandung paduan rasa beri-berian, entah stroberi, bluberi, rasberi, atau lainnya, yang membuatku tersenyum karena keenakannya. Kamu, es krim rasa permen kapas, dan kamu, es krim rasa permen karet, yang menjadikanku mampu merasakan rasanya makan permen tanpa harus benar-benar memakan permen. Kamu, yang mampu menjaga keautentikan nilai-nilai masa kecil dan kenangan tradisional bak es krim kacang hijau, es krim ketan hitam, es krim durian, es krim nangka, dan es krim kopyor.

Kamu. Kamu semua. Kalian. Semuanya rasa es krim kesukaanku.

Aku harus pilih yang mana?

#KronikKepemimpinan
#SeriPoliamori



Minggu, 23 Mei 2021

Kilang Hayati pada Perairan

Aktivitas kilang hayati tidak hanya terbatas pada biomassa pada daratan saja. Kilang hayati dikenal sebagai melakukan kegiatan yang terintegrasi antara proses konversi biomassa untuk menghasilkan produk-produk tertentu  bahan bakar, dan bahan-bahan kimia dari biomassa sebagai koproduk kimia. Hal tersebut sangat mungkin dilakukan dengan biomassa yang bersumber dari perairan. Perlu diketahui bahwa 71% permukaan bumi tertutup oleh air dengan < 1% merupakan air tawar. Berdasarkan luas lahan, biomassa dari perairan akan menjadi lebih banyak daripada biomassa di daratan. Biomassa yang tersedia terdiri dari tanaman laut: mikroalga dan makroalga serta hewan laut: ikan, krustasea, dan moluska. Ada beberapa keuntungan dari kilang hayati pada perairan, di antaranya adalah limbah yang tidak akan dikonsumsi manusia, mengurangi kendala lahan pertanian, pertumbuhan lebih cepat, kondisi pertumbuhannya tidak perlu banyak syarat, dan komponen yang memiliki banyak manfaat. Tentunya, kilang hayati untuk perairan ini masih harus menekan jumlah buangan (zero waste), meningkatkan nilai hasil produk sampingan, meminimalkan konsumsi energi, dan mengoptimalkan efisiensi proses kilang hayatinya.

Berikut ini adalah pemanfaatan biomassa perairan.

Alga
Alga adalah tanaman berklorofil yang hidup  dalam air laut atau air tawar. Alga termasuk dalam divisi Thallophyta dan mengandung klorofil-a. Karena berklorofil, alga mampu mengubah karbondioksida menjadi biomassa dengan bantuan cahaya (fotosintesis). Alga terbagi menjadi mikroalga dan makroalga. Mikroalga merupakan organisme uniseluler dan prokariotik/eukariotik. Makroalga merupakan organisme multiseluler dan eukariotik. Rumput laut termasuk alga (makroalga) sebagai organisme plant-like. Makroalga terbagi menjadi alga coklat (Phaeophyceae), alga merah (Rhodopyceae), dan alga hijau (Chlorophyceae). Alga coklat mengandung pigmen xantofil (fukosantin) dan karotena yang membuatnya coklat, alga merah mengandung pigmen fikoeritrin yang membuatnya merah, dan alga hijaulah yang mengandung paling banyak pigmen klorofil (klorofil-a dan klorofil-b).
Perbandingan ukuran makroalga: Phaeophyceae > Rhodopyceae > Chlorophyceae
 
Contoh-contoh alga coklat:
  • Alaria sp.
  • Saccharina sp.
  • Saccorhiza sp.
  • Sargassum sp.
  • Undaria sp.
  • Famili Fucaceae
  • Famili Laminariaceae
Contoh-contoh alga merah:
  • Gracilaria sp.
  • Gelidium sp.
  • Gelidiella sp.
  • Hypnea sp.
  • Eucheuma sp.
  • Porphyra sp.
  • Kappaphycus sp.
  • Palmaria sp.
Contoh-contoh alga hijau:
  • Ulva sp.
  • Caulerpa sp.
  • Codium sp.
  • Monostroma sp.
Contoh mikroalga (hijau): Chlorella sp.

Rumput laut mengandung karbohidrat, protein, dan mineral-mineral sebagai nutrisi mayornya serta lipid dan vitamin-vitamin sebagai nutrisi minornya. Kandungan karbohidrat pada rumput laut dapat mencapai 76%. Karbohidrat hidrokoloid yang terkandung dalam rumput laut di antaranya adalah agar-agar, alginat, karagenan, fukoidan, dan laminaran. Yang merupakan polisakarida food grade adalah agar-agar (agarosa dan agaropektin), alginat, dan karagenan yang biasa ditemukan sebagai bahan makanan. Yang merupakan non-food grade polisakarida adalah fukoidan dan laminaran yang digunakan sebagai zat nutraceutical yang bermanfaat sebagai prebiotik. Selain itu, tentunya rumput laut juga memiliki kandungan serat yang tinggi. Kemudian, protein yang ditemukan pada rumput laut berupa protein aktif (lektin dan fikobiliprotein) dan asam amino (esensial: lisin, treonin, triptofan, metionin; non-esensial: sistein, glutamat, glisin, arginin, dan alanin).

Kandungan-kandungan tersebut dapat dimanfaatkan menjadi beragam produk, baik pangan maupun nonpangan. Karbohidrat pada rumput laut bisa diolah menjadi bahan bakar alami bioetanol. Lipid pada rumput laut, meskipun tidak banyak, dapat dijadikan bahan bakar alami biodiesel selain bahan pakan. Jika ditemukan sisa rumput laut dari suatu pemrosesan, daripada dijadikan limbah tak berguna yang dibuang percuma, dari rumput laut dapat dibuat produk sampingannya. Memang, ada juga rumput laut dan alga yang dibudidayakan untuk keperluan bahan bakar dan mikronutrien lain yang dapat diekstrak dari rumput laut dan biasanya, mikroalgalah yang dibudidayakan untuk itu karena cenderung lebih mudah diolah. Untuk makroalga, biasanya makroalga perlu dikeringkan, dikecilkan ukurannya, dan disterilisasi sebagai bentuk pretreatment.

Berikut adalah pemrosesan rumput laut dari panen hingga penyimpanan beserta standar-standar untuk rumput laut konsumsi lalu proses kilang hayati untuk mengolah rumput laut yang tidak lolos standar konsumsi.
Gambar 1. Diagram Proses Pascapanen Rumput Laut
(Sumber: DJPB, 2015)

Gambar 2. Contoh Alat Pengering Rumput Laut Bertenaga Surya
(Sumber: Kadam dkk., 2015)

Gambar 3. Standar Mutu Rumput Laut Berdasarkan SNI 2690-2015

Gambar 4. Parameter Kualitas Rumput Laut
(Sumber: DJPB, 2015)
 
 Gambar 5. Proses Produksi Biofuel dari Mikroalga
(Sumber: Medipally dkk., 2015)
 
 Gambar 6. Biokonversi Mikroalga Menjadi Banyak Produk (Berlaku Juga untuk Makroalga)
(Sumber: Medipally, 2015)

Moluska dan Krustasea
Moluska dan krustasea adalah binatang yang memiliki cangkang keras untuk melindungi bagian tubuhnya yang lunak. Di dalam cangkangnya terdapat bagian daging yang tentunya bisa dimakan. Bagian cangkang yang tidak bisa dimakan ini masih bisa dimanfaatkan agar tidak menjadi limbah yang mencemari lingkungan. Kebanyakan cangkang moluska dan krustasea mengandung protein, kapur (CaCO3), dan kitin. Protein dari cangkang dapat diolah menjadi pakan hewan (darat dan laut), suplemen makanan, bumbu, dan obat-obatan. Kapur dari cangkang dapat diolah menjadi bahan bangunan dan ATK. Kitin dari cangkang dapat diolah menjadi kitosan yang digunakan dalam penelitian (mikro)organisme dan material tertentu.
Gambar 7. Produk Kilang Hayati Cangkang
(Sumber: Slide PPT Mata Kuliah Teknologi Kilang Hayati)
 
Proses pembuatan kitosan dari kitin yang terbuat dari cangkang:
  1. Dekolorasi
  2. Demineralisasi: Menghilangkan mineral, terutama kapur, dari cangkang dengan menggunakan larutan asam encer
  3. Deproteinasi: Mengurangi kadar protein dengan menggunakan larutan alkali encer dan pemanasan
  4. Deasetilasi: Melepaskan gugus asetil dari kitin

Ikan-ikanan
Ikan-ikan di perairan seringkali dimanfaatkan sebagai ikan konsumsi. Sebagian besar ikan yang dikonsumsi terdapat di laut, lainnya di air tawar. Namun, pengolahan ikan sebagai bahan makanan tentu menghasilkan limbah yang dapat dimanfaatkan menjadi produk sampingan supaya limbahnya tidak terbuang percuma. Baik ikan yang dibudidayakan maupun ikan liar yang ditangkap dapat diolah untuk menghasilkan produk-produk dari kilang hayati. Adapun ikan-ikan berkualitas rendah yang tidak bisa dikonsumsi dan tidak diterima pasaran pun bukannya tidak bisa dimanfaatkan dalam kilang hayati perairan.

Limbah-limbah ikan dapat diambil komponen makro (protein dan lipid) dan mikronya. Caranya adalah dengan melakukan hidrolisis enzimatik dan sentrifugasi agar didapatkan komponen yang diinginkan. Dari situ bisa didapatkan daging lumatan untuk surimi, protein hidrolisat, kolagen, gelatin, peptida, asam amino, enzim-enzim, dan minyak ikan. Minyak ikan ini dapat dimanfaatkan menjadi bahan bakar alami, suplemen nutrisi, atau pakan hewan (darat atau laut).

Protein yang menjadi salah satu komponen yang terkandung banyak dalam ikan dapat dibuat menjadi fish protein hydrolysate (FPH). FPH adalah protein aktif dari penguraian protein ikan dengan konversi enzimatik.  Proses pembuatan FPH dilakukan dengan hidrolisis enzimatis menggunakan enzim papain menjadi peptida yang lebih sederhana. FPH mengandung asam amino, vitamin, dan mineral yang baik sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan tambahan untuk pakan ternak, pupuk tanaman, dan suplemen makanan. Salah satu ikan yang menjadi sumber pembuatan FPH adalah ikan manyung/catfish (Arius thalassinus).

Ekstraksi FPH dari ikan manyung dilakukan dengan pengecilan ukuran dan pengeringan daging ikan. Ikan manyung berkualitas rendah disiapkan dan dibuat menjadi filet. Kemudian, filet ikan manyung direbus pada suhu 100°C. Daging ikan dicuci menggunakan air panas dan air dingin untuk menghilangkan bagian lemak. Selanjutnya, daging ikan diperas menggunakan alat white cloth mesh agar air dari daging keluar lalu digiling. Daging ikan yang telah digiling dicampurkan dengan enzim papain agar terjadi proses hidrolisis pada temperatur dan waktu tertentu. Setelah dihidrolisis, sampel daging dipanaskan pada suhu 75—800°C untuk menghentikan aktivitas enzim papain. Sampel daging dikeringkan dengan oven vakum. Setelah kering, sampel dihancurkan agar menjadi serbuk lalu diayak agar ukuran serbuk sama semua. Serbuk FPH disimpan dan dikemas dalam kemasan plastik polietilen yang bersegel.
Gambar 8. Diagram Alir Metode Ekstraksi FPH dari Ikan Manyung
(Sumber: Abraha dkk., 2017)
 
***
 
Begitulah gambaran kilang hayati pada perairan. Harapannya, pengetahuan mengenai kilang hayati pada perairan ini dapat membantu untuk mengurangi limbah produk dari perairan. Semoga implementasi kilang hayati pada perairan ini dapat menjadi nyata dan dikomersialkan di masa depan demi terlaksananya keberlanjutan lingkungan hidup.

Daftar Pustaka

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. (2015). Standar Nasional Indonesia: Rumput Laut Kering (SNI 2690-2015). Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

[DJPB] Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. (2015). Petunjuk Praktis Mengelola Pasca Panen Rumput Laut. Diakses dari http://www.djpb.kkp.go.id/arsip/c/265/PETUNJUK-PRAKTIS-MENGELOLA-PASCA-PANEN- pada 16 Mei 2021 pukul 21.00 WIB.

[DJPB] Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. (2015). Cara Praktis Memanenan Rumput Laut yang memenuhi Standar Kualitas. Diakses dari http://www.djpb.kkp.go.id/index.php/arsip/c/261/CARA-PRAKTIS-MEMANENAN-RUMPUT-LAUT-YANG-MEMENUHI-STANDAR-KUALITAS/ pada 16 Mei 2021 pukul 21.00 WIB.

Abraha, B., Mahmud, A., Samuel, M., Yhdego, W., & Kibrom, S. (2017). Production of Fish Protein Hydrolysate from Silver Catfish (Arius thalassinus). MOJ Food Processing and Technology, 5(4), 329—335.

Kadam, U. K., Alvarez, C., Tiwari, B. K., O'Donnell, C. P. (2015). Processing of Seaweeds. In Seaweed Sustainability: Food and Non-Food Applications, (pp. 61—78). San Diego, USA: Academic Press.

Kim, J. K., Yarish, C., Hwang, E. K., Park, M., & Kim, Y. (2017). Seaweed aquaculture: cultivation technologies, challenges and its ecosystem services. Algae, 32(1), 1—13.

Medipally, S. R., Yusoff, F. M., Banerjee, S., & Shariff, M. (2015). Microalgae as sustainable renewable energy feedstock for biofuel production. BioMed research international, 2015, 1—13.

Kilang Hayati Terintegrasi: Tiga Jenis Tanaman

Materi Mata Kuliah PP3103 Teknologi Kilang Hayati


Indonesia kaya akan sumber daya hayati seperti bermacam-macam flora. Flora di Indonesia memiliki berbagai fungsi untuk pangan, papan, dan sandang. Flora-flora mengandung lignoselulosa, yakni komponen organik yang menyusun struktur tanaman. Lignoselulosa merupakan sumber daya alam yang terbarukan. Dalam industri, lignoselulosa dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biomassa yang memiliki potensi dan nilai manfaat yang sangat tinggi. Akan tetapi, dalam proses pemanfaatannya terdapat banyak limbah yang terbuang, padahal lmbah-limbah dari pemrosesan masih banyak mengandung lignoselulosa. Tidak adanya pengolahan yang baik terhadap limbah menyebabkan sumber daya yang berpotensi tersebut terbuang dan terdegradasi secara percuma dalam tempat pembuangan. Maka dari itu, dibutuhkan suatu sistem terintegrasi yang dapat dibuat untuk memperkecil adanya limbah yang dihasilkan oleh suatu pemrosesan tanaman menjadi produk utama. Sistem terintegrasi tersebut terdiri daei mata-mata proses yang disebut integrated industrial biorefinery chains. Integrated industrial biorefinery chains adalah rantai keseluruhan dari industri yang mengolah lignoselulosa secara penuh dengan pengolahan yang terpisah atau terpusat. Inti kegiatan tersebut adalah pengilangan biomassa dan kunci kegiatan adalah teknologi konversi bahan baku biomassa. Sistem yang terintegrasi juga dapat membantu untuk menurunkan kebutuhan energi dalam suatu proses. Tentunya, sistem kilang hayati industri (industry biorefinery) ini perlu memaksimalkan nilai produk yang dihasilkan dari limbah industri lignoselulosa dan menerapkan prinsip zero waste. Adanya suatu sistem industri yang terintegrasi dan kilang hayati industri diharapkan mampu untuk menjawab kebutuhan Indonesia akan pengoptimalan penggunaan sumber daya alam yang ada.

Sebagai negara tropis yang dihuni beragam jenis tanaman penghasil lignoselulosa, kita perlu mengenal juga macam tanaman yang akan dimanfaatkan agar mengetahui proses kilang hayati yang dibutuhkan. Kilang hayati lignoselulosa terintegrasi diperlukan karena biomassa lignoselulosa sulit untuk digunakan secara langsung dan rute produksi yang tepat dengan teknologi yang efisien harus dibentuk. Pengolahan hemiselulosa dan lignin sangat jarang dilakukan, padahal tiap komponen lignoselulosa dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya sehingga menghasilkan produk yang bernilai. Oleh karenanya, diperlukan pretreatment untuk penyediaan bahan baku, biasanya berfokus pada hidrolisis dan fermentasi selulosa. Di sini akan dibahas kilang hayati terintegrasi tiga jenis tanaman: tanaman herba, softwood, dan hardwood.

Tanaman Herba
Gambar 1. Atas ke Bawah: Tanaman Jagung, Bambu, dan Rami

Tanaman herba adalah tanaman yang tidak memiliki batang berkayu di atas tanahnya. Tanaman herba juga disebut tanaman monokotil. Istilah ini biasanya digunakan untuk tanaman semusim atau tahunan. Tanaman herba tidak memiliki kambium (zat kayu), hanya empulur dan korteks. Namun, tanaman herba tentu kaya akan lignoselulosa yang merupakan sumber yang dapat terbarukan serta biomassa yang ramah lingkungan dan energy-efficient. Contoh-contoh tanaman herba di sini adalah jagung, bambu, dan rami.

  • Jagung
Gambar 2. Pemanfaatan Biomassa Batang Jagung
(Sumber: Chen, 2015)

Jagung merupakan salah satu tanaman yang multifungsi. Batang tanaman jagung yang kering dijadikan jerami dengan kandungan nutrien yang berbeda-beda pada tiap bagian tanamannya. Komponen utama jerami adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin. Kandungan pada batang yang berbeda-beda merupakan permasalahan dalam pemanfaatan batang jagung. Hal tersebut bisa diatasi dengan mendirikan sebuah industri yang berorientasi multiproduk dengan proses fraksinasi dan pemanfaatan multilevel menggunakan teknologi ledakan uap (steam explosion) dan fermentasi bahan padat. Industri ini menerapkan pemanfaatan yang tidak hanya memanfaatkan satu komponen namun memanfaatkan semua komponen yang ada pada jerami. Pemanfaatan yang dilakukan adalah pemanfaatan komponen selulosa untuk dikonversi, pemanfaatan hemiselulosa yang kemudian difermentasi untuk memproduksi butanol, dan pemanfaatan lignin agar lignin bernilai tinggi. Selulosa dan hemiselulosa dapat dikonversi secara langsung untuk menghasilkan furfural, asam organik, dan zat hasil konversi lainnya. Dengan penggunaan metode hidrolisis, selulosa dan hemiselulosa dapat dikonversi menjadi gula fermentasi seperti glukosa dan xilosa serta alkohol (butanol). Substrat yang digunakan pada fermentasi butanol adalah serat pendek yang juga dapat dicairkan untuk polieter poliol dan poliuretan sementara serat panjang dapat dimanfaatkan dalam pembuatan mikrokristalin selulosa dan digunakan untuk melarutkan pulp. Lignin yang didapatkan dari ekstraksi alkali dapat digunakan sebagai bahan baku untuk serat karbon, resin fenolik, dan produk lainnya.
Gambar 3. Pengolahan Jerami Jagung
(Sumber: Chen, 2015)

Gambar 4. Hasil Produksi Kilang Hayati Jagung Beserta Bahan Bakunya
(Sumber: Chen, 2015)

Dalam pengolahan bahan baku lignoselulosa, kebanyakan industri hanya memanfaatkan satu komponen saja dan komponen yang lainnya diabaikan sehingga menghasilkan limbah material dan pencemaran lingkungan seperti pembentukan zat asam dari hasil pirolisis. Meskipun begitu, hasil pirolisis masih dapat dimanfaatkan. Permasalahan lain yang ditimbulkan adalah ketidaktepatan fraksinasi sehingga kurang efektif untuk tanaman jagung dan bahan baku lignoselulosa lainnya. Hal tersebut dapat terjadi karena kurangnya konsep pemanfaatan secara bertingkat secara biologis, penggunaan metode yang tidak dapat memperoleh ketiga komponen, dan kurangnya pengetahuan pemanfaatan dari ketiga komponen.
Gambar 5. Diagram Produksi Hasil Kilang Hayati Biomassa Jerami Jagung
(Sumber: Chen, 2015)

  • Bambu
Bambu adalah tanaman yang terdiri dari 65% lignin, 32% pektin, dan 3% kandungan abu. Bambu banyak digunakan dalam pengolahannya untuk dimanfaatkan serat bambunya. Serat bambu dibagi menjadi serat bambu alami dan serat bambu daur ulang. Serat bambu alami langsung dipisahkan dari bambu menggunakan proses khusus. Proses ini biasanya bergantung pada sistem pemintalan, penggergajian bambu dengan panjang yang dibutuhkan dalam produksi, dan penghilangan lignin, pentosa, pektin, dan kotoran lainnya untuk mengekstrak serat bambu alami dari bambu. Serat bambu alami dapat dijadikan pakaian yang nyaman dipakai, dapat diwarnai dengan baik, dan memiliki kilap yang cantik.
Gambar 6. Alur Proses Pembuatan Serat Bambu
(Sumber: Chen, 2015)

Saat ini bambu banyak dimanfaatkan di bidang pertanian, kerajinan tangan, konstruksi bangunan, dan kayu pengolahan panel, kertas, dan arang bambu. Penerapannya di bidang pertanian, kerajinan tangan, papan buatan, dan sebagainya masih banyak bergantung pada metode pengolahan tradisional yang pengolahannya terbatas, menghasilkan produk bernilai tambah rendah, dan memboroskan sumber daya. Pembuatan kertas dari bambu hanya menggunakan selulosa sebagai komponen utama serta hemiselulosa dan ligninnya dihasilkan dalam bentuk lindi hitam. Untuk mencapai pemanfaatan bambu bernilai tinggi yang ramah lingkungan, dikembangkan proses baru untuk pemanfaatan menyeluruh semua komponen pada bambu, jika dilihat dari komponen strukturalnya. Dalam proses ini, serat bambu alami diproduksi sebagai produk target utama. Sementara itu, xilo-oligosakarida, pulp, etanol, alkohol lignin larut, dan residu untuk pembangkit listrik biomassa diproduksi secara bersamaan untuk mewujudkan pemanfaatan maksimum dari semua komponen yang tersisa dan mengatasi polusi lingkungan.
Gambar 7. Kilang Hayati Bambu
(Sumber: Chen, 2015)

  • Rami
Rami (Boehmeria nivea Gaud.) adalah tanaman yang memiliki potensi, terutama batangnya, untuk menghasilkan kain berkualitas tinggi. Tanaman rami telah lama dibudidayakan untuk bahan tambahan dalam industri tekstil selain kapas. Serat rami memiliki sifat fisik yang hampir sama dengan serat kapas dengan beberapa kelebihan seperti seratnya jauh lebih panjang, lebih kuat, dan memiliki daya serap air yang lebih besar. Selain digunakan sebagai bahan baku pembuatan tekstil, serat rami juga dapat digunakan untuk membuat bahan komposit yang ramah lingkungan. Untuk memperoleh serat rami digunakan metode kimia yang menghasilkan limbah berbahaya dari zat kimia yang digunakan. Salah satu pengembangan teknologi alternatif untuk memperoleh serat rami tanpa menggunakan zat kimia adalah dengan menggunakan teknologi ledakan uap (steam explosion). Proses steam explosion menyebabkan adanya pemecahan hemiselulosa dan lignin serta penataan ulang ikatan hidrogen selulosa di bawah kondisi tekanan tertentu yang menghasilkan produksi bahan dengan sifat yang baru.
Gambar 8. Serat Rami

Rami mentah dipanen oleh petani dan pertama kali dilakukan steam explosion untuk memisahkan serat kupas dan serat tangkai. Setelah itu dilakukan proses pencucian untuk memisahkan zat-zat yang terkandung dalam hasil proses steam explosion. Steam explosion dapat menyebabkan adanya degradasi struktur holoselulosa menjadi selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Serat selulosa yang diperoleh dari proses steam explosion memiliki tingkat kristalinasi yang lebih tinggi. Saat proses pencucian, panas akan mengubah ikatan hidrogen dalam struktur selulosa sehingga selulosa yang awalnya keras menjadi lebih lunak. Serat selulosa ini dapat diolah lebih lanjut seperti proses pemutihan untuk menghasilkan serat sebagai bahan baku tekstil.

Zat lain seperti hemiselulosa pada saat dilakukan proses steam explosion mengalami degradasi menjadi molekul xilan yang berasal dari struktur penyusun hemiselulosa. Cairan hasil pencucian produk hasil steam explosion kemudian dimurnikan dengan kromatografi kolom untuk menghasilkan xilo-oligosakarida yang memiliki sifat toleransi terhadap oksigen dan asam, dapat digunakan bersamaan dengan antibiotik, dan memiliki biaya produksi yang rendah. Terakhir, lignin dan monosakarida yang dihasilkan dari hidrolisis holoseslulosa dapat direaksikan dengan amonia sehingga menghasilkan zat organik yang kemudian dapat difermentasikan untuk menghasilkan pupuk organik. Limbah padat dari kilang hayati tumbuhan rami dapat dijadikan papan rami dengan metode hot pressing. Limbah serat rami berupa serat-serat pendek dapat diolah sebagai bahan baku kertas atau bahan baku uang kertas karena serat rami memiliki serat yang kuat.
Gambar 9. Pemanfaatan Rami dalam Kilang Hayati
(Sumber: Chen, 2015)
 
Softwood
Gambar 10. Pohon Pinus atau Tusam (Pinus sp.)
 
Softwood berasal dari divisi Spermatophyta, ordo Coniferales, dan subdivisio Gymnospermae. Pohon-pohon softwood memiliki daun berbentuk jarum. Pohon berkayu lunak, meski tidak selalu, dan berdaun jarum biasa tumbuh di tempat beriklim subtropis karena terdapat musim salju, tetapi sekarang juga bisa ditemui di tempat beriklim tropis. Struktur softwood terdiri dari kayu yang homogen, sel trakeid axial, dan parenkim jari-jari. Terdapat sel trakeid sebanyak 90% dengan panjang 1,5—5,6 mm dan lebar 30—75 μm. Komponen penyusun softwood adalah 55% selulosa, 11% hemiselulosa, 26% lignin, dan sisanya resin, tanin, minyak esensial, pigmen, alkaloid, pektin, protein, pati, dan zat anorganik.
 Gambar 11. Kilang Hayati Softwood
(Sumber: Chen, 2015)

Selulosa kayu softwood yang panjang dijadikan bahan baku pulp dan kertas. Selebihnya, zat-zat ekstraktif dari kayu softwood yang diambil. Kayu softwood lebih jarang untuk dijadikan kayu bahan bangunan.

Industri pulp dan kertas dari kayu softwood menghasilkan banyak sekali limbah dalam proses pembuatannya. Dalam setiap unit proses pada industri pulp dan kertas dapat menghasilkan limbah cair, seperti cairan sisa dari proses pemasakan, cairan pemutih (klorin), dan cairan sisa dari proses lainnya. Jenis limbah cair yang dihasilkan pada unit pemasakan pulp adalah lindi hitam dan lindi merah. Lindi hitam merupakan limbah cair yang terbuat dari proses pemasakan pulp yang menggunakan zat basa. Lindi hitam masih dapat dimanfaatkan dengan adanya pengolahan untuk dijadikan white liquor yang dapat digunakan kembali dalam proses pembuatan kertas. Lindi merah dihasilkan dari proses pemasakan pulp menggunakan zat asam. Lindi merah sendiri dapat dimanfaatkan juga menjadi zat yang memiliki nilai guna. Lindi merah mengandung lignosulfat dan gula, yang kemudian disebut sugar liquor, yang menjadi kandungan utama pada lindi merah. Untuk mendapatkan sugar liquor digunakan teknologi ultrafiltrasi dan nanofiltrasi yang digunakan untuk menghilangkan lignoselulossa dengan berat molekul yang tidak diinginkan. Hasil dari proses tersebut kemudian dimasukkan dalam unit dekolorasi dan deasetilasi untuk menghasilkan cairan gula yang mengandung gula sebanyak 90%. Sugar liquor ini nantinya dapat difermentasi untuk menghasilkan alkohol (butanol dan etanol), aseton, biogas, dan biopestisida. Selain itu, sugar liquor dapat dikatalis untuk menghasilkan etilen glikol dan propilen glikol serta dimurnikan dengan kromatografi menjadi manosa dan xilosa. Kandungan resin dan zat anorganik lainnya didapatkan dengan penyerapan zat menggunakan karbon aktif.
 
Limbah cair perlu diolah dengan unit effluent treatment, yaitu pengolahan limbah dengan perlakuan biologis pada umumnya. Limbah cair yang dihasilkan dari tiap unit proses pembuatan pulp dan kertas memiliki komponen utama berupa serat dan senyawa organik berupa lignin. Unit effluent treatment juga dapat menghasilkan limbah padat berupa lumpur. Lumpur-lumpur tersebut bisa mencapai 0,6—0,7% dari berat produk industri kertas berbahan baku dasar pulp. Limbah lumpur berpotensi untuk dijadikan bahan bakar atau sumber energi berupa biobriket yang mudah terbakar. Limbah lumpur dicampur dengan lindi hitam untuk membuat biobriket karena lindi hitam mengandung banyak lignin untuk menambah daya nyala biobriket.
 
Hardwood
Hardwood berasal dari divisi Spermatophyta dan subdivisio Angiospermae. Seperti namanya, pohon-pohon hardwood memiliki kayu yang cenderung keras dan berdaun lebar. Hal tersebut disebabkan sel-sel yang menyusun hardwood lebih kompleks. Komponen penyusun hardwood adalah 55% selulosa, 25% hemiselulosa, 20% lignin, dan sisanya zat-zat lainnya. Sel-sel kayu daun lebar terdiri dari 50% sel serat, 20% sel pembuluh, 17% sel jari-jari, dan 13% sel parenkim axial. Serat kayunya memiliki panjang 0,7—1,7 mm dan lebar 20—40 μm. Karena seratnya lebih pendek, kayu hardwood lebih sering dimanfaatkan sebagai bahan bangunan atau perabotan daripada dijadikan kertas (walaupun di sini juga akan dijelaskan pembuatan kertas dari kayu hardwood).
 Gambar 12. Kilang Hayati Hardwood
(Sumber: Chen, 2015)

Terlihat dari gambar, tanaman hardwood dapat menghasilkan produk kilang hayati yang bermanfaat. Ekstraksi langsung dari batang kayunya menghasilkan getah, istilahnya "menyadap getah". Getah tersebut dapat diolah lagi menjadi produk bernilai tinggi. Contohnya adalah getah pohon karet yang bisa dijadikan karet seperti namanya dan getah pohon kuda/kudo (Lannea coromandelica) yang bisa dijadikan bahan perekat (lem).
Gambar 13. Contoh Tanaman Penghasil Karet, dari Kiri Atas, Searah Jarum Jam: Ficus elastica, Hevea brasiliensis, Parthenium argentatum A. Gray, dan Castilla elastica

Gambar 14. Pohon Kuda/Kudo (Lannea coromandelica)
(Sumber: Eskani dkk., 2017)
 
Sisa kayu yang merupakan limbah dapat dihancurkan dan dijadikan papan kompres (papan kayu yang terbuat dari serbuk-serbuk kayu, bukan kayu gergajian). Kemudian, selulosa panjang yang diambil ditambahkan basa/alkali yang kemudian diolah secara mekanis untuk dijadikan pulp. Proses untuk membuat pulp disebut dengan proses kraft. Pulp merupakan bahan dasar kertas. Untuk dijadikan kertas, pulp diberi pemutih melalui proses bleaching, direbus, digiling agar berbentuk lembaran, dan dikeringkan. Pulp yang sudah dikeringkan kemudian dipotong-potong sesuai ukuran agar terbentuk kertas yang dikenal saat ini. Selain kertas, pulp dapat dijadikan soil conditioner dan/atau pupuk organik untuk menyuburkan tanah. Rasio C/N yang didapat dari pupuk organik dari pulp ini sebesar 9,00—14,00 dan pengoptimalan unsur hara makro pupuk (N, P, dan K) masih dapat dilakukan dengan pencampuran dengan pupuk organik lain.


Selulosa pendek dan hemiselulosa hidrolisat bisa difermentasi sehingga didapatkan aseton dan alkohol berupa etanol atau butanol. Alkohol yang didapatkan bisa dimanfaatkan untuk bahan bakar alami. Lignin hardwood dari proses pemasakan pulp bisa dijadikan resin fenolik untuk perekat kayu.

Daftar Pustaka
Chen, H. (2015). Lignocellulose Biorefinery Engineering: Principles and Applications. Cambridge: Woodhead Publishing Limited.

Diharjo, K. (2006). Pengaruh perlakuan alkali terhadap sifat tarik bahan komposit serat rami-polyester. Jurnal Teknik Mesin, 8(1), 8—13.

Eskani, I. N., Perdana, A., Eskak, E., & Sumarto, H. (2017). Getah Pohon Kudo (Lannea Coromandelica) Sebagai Alternatif Perekat Untuk Produk Kerajinan. Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah, 34(1), 19—24.
 
Komarayati, S. & Gusmailina. (2007). Pemanfaatan Limbah Padat Industri Pulp untuk Pupuk Organik. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 25(2), 137—146.

Syamsudin, S., Purwati, S., & Rostika, I. (2017). Pemanfaatan campuran limbah padat dengan lindi hitam dari industri pulp dan kertas sebagai bahan biobriket. JURNAL SELULOSA, 42(02), 68—75.

Senin, 17 Mei 2021

Keawetan dan Pengawetan Kayu

Kita semua mengetahui bahwa kayu merupakan komoditas multiguna. Kayu didapatkan dari tumbuhan berkambium (karena penebalan sekunder), bervaskular, parenial, dan mempunyai satu batang utama. Karena kayu merupakan komoditas alami dengan sifat-sifatnya sebagai biomassa, tidak jarang ditemukan berbagai penyebab kerusakan pada kayu.
Dua sifat penentu kualitas kayu:
  • Higroskopis, dapat mengikat dan melepaskan air di lingkungan sekitarnya
  • Anisotropik, bergantung pada tiga arah dimensinya (longitudinal, tangensial, dan radial)
Selain sifat-sifat itu, terdapat juga faktor eksternal yang memengaruhi kualitas kayu. Maka dari itu, kayu butuh diawetkan agar tahan lama selama digunakan. Beberapa titik kelemahan kayu di antaranya adalah
  • tidak tahan terhadap organisme perusak kayu,
  • tidak tahan pada kelembapan,
  • dimensinya tidak stabil,
  • permukaannya lunak, dan
  • tidak tahan terhadap cahaya (UV).
Di sini akan dibahas perihal keawetan kayu, keterawetan kayu, dan cara pengawetan kayu agar tahan terhadap faktor-faktor eksternal biologis, kimiawi, fisik, dan mekanis.

Keawetan Kayu
Ada beberapa faktor yang memengaruhi keawetan kayu:
  • Struktur fisik kayu
Kayu memiliki rongga-rongga dalam strukturnya. Stuktur kayu yang berongga ini cocok untuk dijadikan ruang, substrat tempat hidup, atau sarang organisme perusak kayu. Selain itu, kayu yang berongga mudah berubah bentuknya karena faktor fisik dan mekanis.
  • Komposisi kimia kayu
Komponen kimia utama kayu terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin, zat ekstraktif, dan abu. Bagi organisme perusak kayu, kayu yang mengandung selulosa tinggi cocok untuk dijadikan sumber makanan bernutrisi. Akan tetapi, kayu dengan zat ekstraktif (hasil metabolit sekunder tanaman) tinggi lebih resisten dari organisme perusak kayu karena zat ekstraktif kayu bersifat beracun bagi organisme perusak kayu. Zat ekstraktif kayu adalah sekelompok senyawa kimia unik yang dapat diekstrak dari bahan tanaman melalui ekstraksi dengan berbagai bahan pelarut. Zat ekstraktif kayu bertanggung jawab atas karakteristik warna dan bau kayu serta sebagai bentuk pelindungan diri tanaman berkayu. Contoh-contoh zat ekstraktif di antaranya adalah minyak esensial, tanin, dan zat fenolik. Kandungan zat ekstraktif dalam kayu dapat berkisar dari 5% hingga 25%.
  • Bagian kayu dalam batang
Batang kayu gelondongan terdiri dari beberapa bagian, dimulai dari paling dalam, yaitu kayu teras (heartwoood, bagian inti batang kayu gelondongan), kayu gubal (sapwood, bagian terluar batang kayu gelondongan), dan kulit kayu (bark). Kayu teras sudah lebih dahulu berkembang daripada kayu gubal. Maka dari itu, keawetan kayu teras lebih tinggi daripada kayu gubal. Kayu gubal dari semua jenis kayu sangat rentan terhadap kerusakan oleh agen biologis, bahkan bila kayu terasnya sangat awet.
  • Kecepatan tumbuh pohon
Kayu yang cepat tumbuh dan berkembang umumnya lebih rentan karena yang tidak begitu cepat tumbuh mengambil waktu lebih lama untuk pertumbuhan sekundernya. Kayu hutan alam lebih awet daripada kayu cepat tumbuh.
  • Cara pemanenan kayu
Kayu yang dipanen hati-hati lebih memungkinkan untuk awet. Oleh karenanya, teknik penebangan dan penanganan pascapenennya perlu diperhatikan supaya diperoleh kayu berkualitas tinggi.
  • Tempat di mana kayu itu dipakai
Kayu yang dipakai di tempat lembap akan lebih mudah rusak daripada kayu yang dipakai di tempat kering. Gelap dan terangnya tempat penyimpanan dan pemakaian kayu juga memengaruhi keawetan kayu.

Keterawetan dan Pemilihan Metode Pengawetan Kayu
Keterawetan (treatability) adalah sifat yang dimiliki kayu terhadap mudah atau tidaknya suatu kayu diawetkan dengan ditembus oleh bahan pengawet. Keterawetan dari berbagai jenis kayu memiliki peran penting untuk keawetan kayu. Biasanya, bahan pengawet kayu merupakan bahan kimia yang dimasukkan ke dalam kayu sehingga keawetan kayu meningkat. Perlakuan kimia, terkadang disertai dengan perlakuan fisik, yang diberikan terhadap kayu dilakukan untuk memperpanjang masa pakai kayu. Faktor-faktor yang memengaruhi keterawetan kayu adalah jenis kayu, kondisi kayu yang diawetkan, metode pengawetan, dan bahan pengawet yang digunakan dalam proses pengawetan. Dari situ, keterawetan kayu dilihat dari permeabilitasnya terhadap bahan kimia pengawet dan kemampuan penetrasi bahan kimia pengawet.
Tabel 1. Klasifikasi keterawetan kayu

% Luas Penetrasi

Kelas

> 90

Permeabel

50—90

Semipermeabel

10—50

Tidak permeabel


Penetrasi bahan pengawet merupakan kedalaman masuknya pengawet dari permukaan kayu. Selain kedalaman, distribusi bahan kimia pengawet dalam kayu dan retensi (banyak pengawet yang masuk lalu menetap dalam kayu) bahan kimia pengawet juga menentukan keterawetan kayu. Ada beberapa cara untuk menambah keterawetan kayu, yaitu insisi (membuka pori-pori dengan pelukaan pada kayu), pengukusan (mengukus atau merebus kayu untuk menghilangkan udara dan air dalam kayu pada suhu tertentu), dan pemacakan (memberi pelukaan pada kayu seperti insisi, tetapi lebih besar lukanya).
 
Contoh-contoh bahan kimia pengawet kayu:
  • Kresot
  • Pentaklorofenol
  • CCA (chromated copper arsenate)
  • ACQ (ammoniacal copper quarternary)
  • Borat
Beberapa bahan kimia pengawet kayu digunakan secara terbatas karena tingkat toksisitasnya yang tinggi.

Setelah mengetahui proses pemasukan bahan kimia pengawet ke dalam kayu, barulah memilih metode lanjutan untuk mengawetkan kayu. Faktor-faktor yang memengaruhi pengawetan kayu adalah keterawetan kayu, kadar air, tipe bahan pengawet, dan metode pengawetan. Metode pengawetan kayu terdiri dari metode kimiawi, metode nonkimiawi, metode dengan/tanpa tekanan, dan lain sebagainya. Di bawah ini adalah pembagian metode pengawetan kayu.
  • Metode kimiawi-fisik tanpa tekanan:
    • Pelaburan/pengolesan/pengusapan dengan cat, pelitur, pernis, minyak, dsb. menggunakan kuas
    • Penyemprotan dengan suatu zat kimiawi
    • Pencelupan (sebentar, selama beberapa detik hingga menit)
    • Perendaman (lebih lama, selama beberapa jam hingga hari), terdiri dari rendaman dingin dan rendaman panas-dingin
    • Pengasapan
    • Penyuntikan/injeksi
    • Sap displacement
    • Difusi (menggunakan kayu yang sudah dikuliti dan berkadar air tinggi)
    • Metode Boucherie
  • Metode fisik (nonkimiawi) tanpa tekanan:
    • Penggorengan
    • Perebusan
    • Pengukusan
    • Pengeringan
    • Pengerjaan (dikuliti, digergaji, dibentuk, dll.)
    • Pengulitan (kecuali bagi kayu untuk sap displacement)
    • Iradiasi
  • Metode kimiawi-fisik dengan tekanan:
    • Pengubahan gugus hidroksil menjadi gugus asetil (untuk menghilangkan sifat higroskopis) (asetilasi)
    • Impregnasi: Mengisi rongga-rongga kayu dengan agen pengisi, contohnya serbuk-serbuk kayu/bambu yang lebih kecil, resin (contoh: fenol formaldehida, urea-formaldehid, methylated melamine formaldehyde, dan melamin-formaldehida), dan monomer-monomer yang akan berubah menjadi polimer (contoh: stirena dan polietilena glikol 400)
    • Kompregnasi: Gabungan kompresi dan impregnasi
  • Metode fisik (nonkimiawi) dengan tekanan:
    • Pemadatan dengan pengempaan (kompresi), terdiri dari pengempaan dingin, pengempaan panas, dan pengempaan panas-dingin
Gambar 1. Kayu yang diberi perlakuan kompresi (kanan) menjadi lebih kecil daripada sebelumnya (kiri) karena pemadatan menyebabkan jarak antar-rongga kayu berkurang sehingga lebih rapat
 
Terdapat tiga klasifikasi metode tekanan, yaitu proses sel penuh, proses sel kosong, dan proses sel vakum-vakum (double vaccuum).

Pengawetan dari Faktor Biologis
Agen-agen biologis perusak kayu:
  • Serangga
    • Rayap: rayap bawah tanah dan rayap tanah, bisa menyerang kayu kering
    • Kumbang, terdiri dari kumbang ambrosia (famili Scolytidae dan Platypotidae) yang menyerang kayu basah dan kumbang penggerek kayu atau kumbang bubuk kayu kering (powder post beetle) (famili Bostrychidae) yang menyerang kayu kering
    • Ngengat (ordo Lepidoptera)
  • Jamur (fungi): jamur pelapuk, jamur pelunak, dan jamur pewarna
    • Jamur lapuk coklat (divisi Basidiomycetes) yang menyebabkan selulosa berwarna gelap (coklat kehitam-hitaman)
    • Jamur lapuk putih (divisi Basidiomycetes) yang menyebabkan holoselulosa dan lignin berwarna pucat
    • Jamur lapuk lunak (divisi Ascomycetes atau Deuteromycetes) yang menyebabkan komponen selulosa dan dinding sel melunak
    • Jamur pewarna biru (blue stain fungi) (divisi Ascomycetes atau Deuteromycetes) yang menyebabkan munculnya warna biru pada kayu
  • Marine borer, penggerek kayu di laut: moluska (contoh: siput, kerang, dan cacing) dan krustasea (contoh: macam-macam kutu kayu di laut, ordo Isopoda)
Gambar 2. Contoh isopoda kutu kayu
 
Sebenarnya, kayu masih memiliki kandungan zat ekstraktif alami dalam kayu yang beracun untuk organisme perusak kayu. Namun, kebanyakan zat ekstraktif tersebut lebih banyak terdapat pada bagian kayu teras. Oleh karena itu, dibutuhkan metode untuk menambah ketahanan kayu gubal dari serangan organisme perusak kayu. Menambah ketahanan kayu gubal berarti meningkatkan keawetan kayu secara keseluruhan.

Untuk mengawetkan kayu agar tahan dari faktor-faktor biologis, ada beberapa cara yang dapat dilakukan:
  • Melakukan fumigasi dengan fumigan yang mampu mematikan oraganisme perusak kayu
  • Melakukan penyemprotan dengan pestisida.
  • Memberikan bahan kimia pengawet untuk kayu.
  • Melakukan impregnasi dengan resin fenol formaldehida.
  • Memberikan pelapis luar pada kayu dengan pelapis dari material lain (plastik, cat, dsb.).
  • Mengeringkan kayu hingga di bawah titik jenuh serat agar tidak lembap.
  • Menjaga kelembapan lingkungan.
  • Menjauhkan kayu dari sarang tempat tinggal serangga.

Pengawetan dari Faktor Kimiawi
Kayu tidak sepenuhnya tahan dari bahan-bahan kimiawi dari luar, terutama larutan kimia dengan konsentrasi yang tinggi. Karena kayu juga memiliki beberapa komponen kimia di dalamnya, faktor eksternal kimiawi akan memengaruhi komposisi kimia yang membentuk kayu dan sangat memengaruhi umur pakai dan keawetan kayu. Larutan asam kuat dan basa kuat mampu merusak kayu.

Asam dapat menyebabkan penguraian kandungan karbohidrat dalam kayu. Pemberian asam kuat seperti dalam jangka waktu yang lama pada kayu adalah dapat menyebabkan komposisi selulosa dan hemiselulosa mengalami hidrolisis dan kompsisi lignin mengalami reaksi kondensasi. Basa (alkali) kuat menyebabkan degradasi pada lignin (delignifikasi) dan lignin dapat terlarut dalam larutan basa pekat. Garam dapat menyebabkan fuzzy wood, yaitu terserapnya larutan garam oleh pembuluh kayu sehingga saat air menguap, kristal-kristal garam tersebut tertinggal dalam struktur kayu dan membuat kayu rusak. Terakhir, pembakaran merupakan reaksi kimia antara bahan bakar dan oksidator (udara atau oksigen) yang menghasilkan produk karbon (C), karbonmonoksida (CO), atau karbondioksida (CO2) dan air (H2O) serta cahaya dalam bentuk pendar atau api. Pembakaran menyebabkan kayu terurai menjadi karbonmonoksida (pembakaran tidak sempurna) dan karbondioksida (pembakaran sempurna) yang mencemari udara dan tentunya terurai menjadi karbon sederhana yang tidak murni, berwarna hitam, dan rapuh.
Gambar 3. Kayu yang terkena fuzzy wood
 
Gambar 4. Kayu yang terbakar

Untuk mengawetkan kayu agar tahan dari faktor-faktor kimiawi, ada beberapa cara yang dapat dilakukan:
  • Menambahkan bahan pengawet kreosot yang berminyak.
  • Memberikan pelapis luar pada kayu dengan pelapis dari material lain (plastik, cat, dsb.).
  • Menjauhkan kayu dari bahan-bahan pembakar.
  • Melakukan asetilasi pada gugus hidroksil kayu.

Pengawetan dari Faktor Fisik
Faktor-faktor fisik adalah keadaan atau sifat alam yang mampu merusak atau menurunkan kualitas kayu dan membuat umur pakainya menjadi lebih pendek. Sifat alam tersebut mencakup suhu, kelembapan, udara (gas), pH, dan intensitas cahaya matahari yang dapat memengaruhi keawetan kayu. Suhu tinggi dapat membuat warna kayu gelap dan terdegradasinya komponen kimia kayu. Suhu yang hangat dan kelembapan yang tinggi memacu pertumbuhan jamur. Kelembapan yang rendah menyebabkan kayu kehilangan kandungan air di dalamnya sehingga lebih rapuh. Bila langsung terpapar udara, kayu yang telah dikuliti dapat mengalami diskolorasi karena oksidasi. Sinar UV mendegradasi lignin sehingga kayu mengalami degradasi warna dari gelap menjadi kuning, coklat, kemudian abu-abu.

Untuk mengawetkan kayu agar tahan dari faktor-faktor fisik, ada beberapa cara yang dapat dilakukan:
  • Melakukan asetilasi pada gugus hidroksil kayu.
  • Melakukan impregnasi.
  • Melakukan kompregnasi.
  • Memberikan bahan kimia pengawet untuk kayu.
  • Melakukan pelapisan dengan iradiasi sinar UV dan iradiasi berkas elektron.
  • Mengeringkan kayu hingga di bawah titik jenuh serat agar tidak lembap.
  • Memberikan pelapis luar pada kayu dengan pelapis dari material lain (plastik, cat, dsb.).

Pengawetan dari Faktor Mekanis
Kayu tidak luput juga dari kerusakan mekanis. Kerusakan mekanis adalah kerusakan minor yang memengaruhi kualitas kayu yang meliputi kerusakan karena perlakuan atau gerakan fisis dari luar baik disengaja maupun tidak disengaja. Maka dari itu, faktor eksternal mekanis yang memengaruhi keawetan kayu meliputi pukulan, tarikan, dorongan, atau tekanan pada kayu.

Sebelumnya, kita perlu mengenal sifat-sifat mekanis kayu. Sifat mekanis kayu adalah sifat yang berhubungan dengan ukuran kemampuan kayu untuk menahan gaya luar yang bekerja padanya. Berikut ini adalah sifat-sifat mekanisnya.
  • Kekuatan tarik (tensile strength): Kekuatan kayu untuk menahan beban tarik.
  • Kekuatan tekan (compressive strength): Kekuatan kayu untuk menahan beban tekan atau maximum crushing strength (MCS)
  • Kekuatan geser (shearing strength): Kemampuan kayu untuk menahan beban bergeser.
  • Kekuatan lentur (bending strength): Kekutan kayu untuk menahan beban lentur.
  • Kekakuan (stiffness): Kemampuan kayu untuk mempertahankan bentuk dan ukurannya apabila kayu tersebut mendapatkan beban. Kekakuan ini berhubungan dengan modulus of elasticity (MOE)
  • Keuletan (toughness): Kemampuan kayu untuk menyerap energi akibat beban pukul.
  • Kekerasan (hardness): Kemampuan kayu untuk menahan indentasi (tekanan setempat) pada permukaan kayu atau kemampuan kayu untuk menahan kikisan pada permukaan.
  • Ketahanan belah (cleavage resistance): Kemampuan kayu untuk menahan belahan.

Untuk mengawetkan kayu agar tahan dari faktor-faktor mekanis, ada beberapa cara yang dapat dilakukan:
  • Menyesuaikan pengerjaan yang dibutuhkan agar tidak merusak kayu.
  • Melakukan impregnasi.
  • Melakukan pemadatan dengan pengempaan.
  • Melakukan kompregnasi.