Jumat, 30 Agustus 2019

Karya Inovasi dan Regenerasinya


(Tulisan ini pernah memenangkan Sayembara Opini Pers Mahasiswa ITB dan dimuat di kolom "Opini" koran Ganeca Pos Edisi Agustus 2018 versi cetak oleh Pers Mahasiswa ITB. Untuk gambar lebih jelasnya dapat diunduh di sini. Ada sedikit perbedaan pada tulisan asli opini dari saya sendiri dan tulisan di koran. Yang ada di bawah adalah tulisan asli opini dari saya sendiri.)

Kita mengetahui adanya tiga arah gerak, yaitu sosial politik, sosial masyarakat, dan karya inovasi. Di antara ketiga arah gerak tersebut, karya inovasi adalah arah gerak yang paling bisa terlihat dampaknya. Mengapa demikian? Karena di bidang karya inovasi bisa dilahirkan sesuatu yang konkret. Karya inovasi dapat merupakan bentuk perwujudan nyata dari sosial politik dan sosial masyarakat. Sebagai contoh, sistem irigasi pertanian yang dibangun di sebuah desa adalah hasil karya dari bidang sosial masyarakat dan buku kajian sebuah aksi demonstrasi massa adalah hasil karya dari bidang sosial politik. Tidak hanya itu, seorang psikolog yang sedang meneliti dampak psikologis ada atau tidaknya satuan keamanan di suatu lingkungan perumahan bisa dikatakan sedang berkarya di bidang sosial masyarakat. Jurnalis yang menuliskan hasil reportasinya mengenai keberjalanan pemilihan umum kepala negara pun sebenarnya sedang berkarya di bidang sosial politik. Bukankah tulisan ini yang sedang para pembaca baca juga merupakan sebuah karya?
Karya inovasi memang kental dengan yang namanya ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, apakah berkarya adalah membuat alat-alat canggih melulu? Apakah inovasi selalu datang jika adanya alat canggih dibuat? Tentu tidak. Inovasi sendiri didefinisikan sebagai pemasukan atau pengenalan hal-hal baru yang berbeda dari gagasan, metode, atau alat yang sudah ada atau sudah dikenal sebelumnya[1]. Jadi, tidak harus sebuah alat, bukan? Karya inovasi itu sendiri bisa berupa barang atau jasa. Esensi dari sebuah karya ialah karya harus berpengaruh dan bermanfaat untuk kemaslahatan manusia. Maka dari itu, karya inovasi yang dibuat dalam bentuk apapun haruslah berdampak positif bagi manusia dan lingkungan dalam skala besar atau kecil.
Sekarang ini, prestasi ITB yang sedang dibanding-bandingkan dengan prestasi perguruan tinggi lainnya masih hangat dibicarakan. Padahal, jika kita mau menelusuri lebih jauh, ITB pun punya karyanya sendiri. Memang, jumlahnya relatif tidak banyak dan keberadaannya tidak begitu terekspos. Namun, pernahkah para pembaca bertanya-tanya mengapa hal-hal mengenai kekaryaan tidak menjadi hal yang menarik di ITB? Jawabannya satu: karena tidak ada atau kurang regenerasinya.
Mungkin para pembaca ada yang pernah mengetahui kuesioner mengenai fokus kemahasiswaan ITB yang disebarkan pada tahun 2014 silam. Hasilnya adalah kaderisasi di peringkat ke-1, isu sosial politik negara di peringkat ke-2, pengabdian masyarakat di peringkat ke-3, dan iptek di peringkat ke-4[2]. Dari hasil kuesioner tersebut, mahasiswa ITB lebih menyukai mengurus kaderisasi kampus daripada mengurus iptek. Sungguh sebuah ironi bahwa ITB yang merupakan institut teknologi malah tidak mengedepankan iptek. Namun, ironi itulah yang menjadi kenyataan di ITB saat ini. Sementara itu, daripada menyalahi keadaan, lebih baik ironi tersebut dimanfaatkan untuk pengembangan karya inovasi, terutama di ITB. Ya, kita mengembangkan kekaryaan di tengah atmosfer kaderisasi, perpolitikan, dan juga pengabdian masyarakat di ITB yang sangat pekat. Tidak bisakah kita menularkan semangat berkarya dengan kaderisasi? Tidak bisakah kita melakukan pergerakan sosial politik atau sosial masyarakat melalui kekaryaan? Ketahuilah, hanya dengan mengeluhkan ITB yang tidak bisa memenangkan kejuaraan kekaryaan manapun tidak akan banyak mengubah apapun. Cukup mustahil regenerasi karya diwujudkan jika para pembaca diam saja. Ini sudah saatnya kita bergerak untuk berkontribusi di kekaryaan, baik langsung maupun tidak langsung.
Regenerasi karya yang dilakukan perlu berpedoman pada Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tri Dharma Perguruan Tinggi terdiri dari tiga pilar dasar pola pikir dan menjadi kewajiban bagi mahasiswa, yakni 1) Pendidikan dan Pengajaran, 2) Penelitian dan Pengembangan, dan 3) Pengabdian kepada Masyarakat. Dari pilar pertama, kita mendidik dan mengajarkan orang-orang yang kita bina mengapa kita harus berkarya dan bagaimana cara berkarya yang baik dan benar. Dari pilar kedua, kita kembangkan ide, gagasan, pemikiran, dan inspirasi supaya dibuat karya inovasi dan melakukan penelitian serta studi yang terkait setelahnya. Dari pilar ketiga, kita harus memastikan bahwa karya inovasi yang dibuat memang bertujuan untuk mengabdi kepada masyarakat. Di sini, subjek regenerasi karya bisa jadi terbagi dua, yaitu regenerasi karya inovasinya dan regenerasi orang yang berkaryanya. Sebuah karya inovasi akan semakin bagus setiap harinya jika terus-menerus dikembangkan sehingga terdapat hasil yang berkelanjutan, tidak terhenti hanya di suatu waktu. Mungkin saja dibutuhkan pemutakhiran untuk karya terebut setiap beberapa waktu sekali. Itulah yang dinamakan regenerasi karya inovasi.
Sumber daya manusia di ITB, terutama mahasiswanya, bisa berubah-ubah secara kuantitas. Memang, mahasiswa yang sudah lama berkuliah akan meninggalkan kampus lalu digantikan dengan mahasiswa-mahasiswa baru. Akan tetapi, kualitas kekaryaan masih dapat diteruskan dari masa ke masa, bahkan dibuat lebih baik lagi seiring berjalannya waktu. Untuk regenerasi orang yang berkarya biasanya dilaksanakan di bawah suatu kelompok atau lembaga kemahasiswaan tertentu di ITB. Suatu kelompok atau lembaga kemahasiswaan tertentu memberikan profil-profil keanggotan kelompok atau lembaga kemahasiswaan tersebut kepada anggota-anggotanya untuk dipenuhi, salah satunya mengenai keprofesian yang dapat dimunculkan dalam bentuk karya inovasi. Kelompok atau lembaga kemahasiswaan yang sedang mengader anggota-anggotanya ini harus mengikuti falsafah dasar keberadaan organisasi kemahasiswaan. Falsafah dasar keberadaan organisasi kemahasiswaan yang dicetuskan oleh Muhammad Hatta menyatakan bahwa tugas perguruan tinggi adalah membentuk manusia yang susila dan demokrat yang memiliki keinsafan tanggung jawab atas kesejahteraan masyarakatnya, cakap dan mandiri dalam memelihara dan memajukan ilmu pengetahuan, dan cakap memangku jabatan atau pekerjaan dalam masyarakat[3]. Falsafah dasar keberadaan organisasi kemahasiswaan harus ditegakkan di dalam kaderisasi kelompok atau lembaga kemahasiswaan di ITB seperti himpunan mahasiswa jurusan dan unit kegiatan mahasiswa. Falsafah dasar keberadaan organisasi kemahasiswaan ini mejadi pegangan mahasiswa yang merupakan insan akademis[4] jika para mahasiswa mau berkarya dan itu diajarkan di kaderisasi kelompok atau lembaga kemahasiswaan di ITB. Tentu kita mengetahui bahwa kaderisasi ada yang pasif dan ada yang aktif. Kaderisasi pasif untuk para anggota muda yang sedang dikader dalam orientasi jurusan (osjur) atau penerimaan mahasiswa anggota baru (PMAB). Kaderisasi aktif untuk para anggota biasa dan orang-orang yang berada dalam jajaran badan pengurus atau dewan-dewan di kelompok atau lembaga kemahasiswaan tersebut. Baik mereka yang masih menjadi anggota muda maupun mereka yang sudah menjadi pengurus himpunan memiliki kesempatan yang sama untuk berkarya inovasi. Bukankah kaderisasi di suatu kelompok atau lembaga kemahasiswaan tertentu bisa meningkatkan empati terhadap diri sendiri dan orang lain, lalu menemukan suatu masalah, dan akhirnya menentukan solusi untuk masalah tersebut dalam bentuk karya? Dari sinilah kaderisasi kelompok atau lembaga kemahasiswaan berperan dalam regenerasi karya inovasi untuk orang-orang yang berkaryanya.
Penulis pribadi menimbang bahwa regenerasi mengenai karya inovasi masih bisa digalakkan di himpunan-himpunan mahasiswa jurusan atau di unit-unit kegiatan mahasiswa di ITB. Melalui kaderisasi himpunan atau unit kegiatan, para kader yang awalnya tidak tertarik untuk berkarya menjadi tertarik, keinsafan untuk berkarya dapat ditumbuhkan, dan nilai-nilai kekaryaan (sebagai contoh: solutif, kritis, progresif, dan adaptif[5]) tidak hanya ditanamkan kepada para kader, tetapi juga dapat disemai. Sebut saja sebuah himpunan mahasiswa Rekayasa Pertanian yang mampu memacu anggota-anggotanya agar berkarya untuk memajukan pertanian di Indonesia atau unit kegiatan robotika yang melatih anggota-anggotanya membuat robot yang bisa membantu pekerjaan manusia. Hal lain yang mungkin saja terjadi adalah keinginan untuk mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) di tingkat nasional bisa terpantik dari kaderisasi himpunan mahasiswa jurusan atau kaderisasi unit kegiatan mahasiswa karena saat orientasi jurusan atau penerimaan mahasiswa anggota baru di unit kegiatan diberikan materi tentang PKM. Seorang mahasiswa yang berada di lingkungan yang penuh dengan orang-orang yang berkarya juga berkemauan untuk berkarya karena pengaruh lingkungannya. Contoh-contoh itu bisa menjadi bukti bahwa kaderisasi kelompok atau lembaga kemahasiswaan tersebut berhasil. Ya, kaderisasi yang terkesan abstrak bisa menghasilkan keluaran yang nyata. Salah satu jalan agar identitas mahasiswa sebagai insan akademis akan terlihat jika pada akhirnya mahasiswa mampu membuat karya inovasi yang bermanfaat. Bermanfaat di sini tidak hanya akan menimbulkan rasa puas bagi para pembuat karya dan para penggunanya, tetapi juga ada nilai dalam manfaat penggunaannya.
Jadi, kekaryaan tetap membutuhkan regenerasi, tidak?
 
Referensi:
[1] Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Hlm. 939—940.
[2] https://www.zenius.net/blog/15841/perkembangan-iptek-indonesia (diakses pada 12 Agustus 2018 pukul 21.57)
[3] Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung. (2015). Konsepsi Organisasi Kemahasiswaan Keluarga Mahasiswa ITB Amandemen 2015. Hlm. 3.
[4] Ibid. 
[5] Kabinet Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung 2018/2019. (2018). Nilai Dasar Pergerakan KM ITB. Hlm. 12—14.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar