(Tulisan ini pernah memenangkan Sayembara Opini Pers Mahasiswa ITB dan dimuat di kolom "Opini" koran Ganeca Pos Edisi Agustus 2018 versi cetak oleh Pers Mahasiswa ITB. Untuk gambar lebih jelasnya dapat diunduh di sini. Ada sedikit perbedaan pada tulisan asli opini dari saya sendiri dan tulisan di koran. Yang ada di bawah adalah tulisan asli opini dari saya sendiri.)
Kita mengetahui
adanya tiga arah gerak, yaitu sosial politik, sosial masyarakat, dan karya
inovasi. Di antara ketiga arah gerak tersebut, karya inovasi adalah arah gerak
yang paling bisa terlihat dampaknya. Mengapa demikian? Karena di bidang karya
inovasi bisa dilahirkan sesuatu yang konkret. Karya inovasi dapat merupakan
bentuk perwujudan nyata dari sosial politik dan sosial masyarakat. Sebagai
contoh, sistem irigasi pertanian yang dibangun di sebuah desa adalah hasil
karya dari bidang sosial masyarakat dan buku kajian sebuah aksi demonstrasi
massa adalah hasil karya dari bidang sosial politik. Tidak hanya itu, seorang
psikolog yang sedang meneliti dampak psikologis ada atau tidaknya satuan
keamanan di suatu lingkungan perumahan bisa dikatakan sedang berkarya di bidang
sosial masyarakat. Jurnalis yang menuliskan hasil reportasinya mengenai
keberjalanan pemilihan umum kepala negara pun sebenarnya sedang berkarya di
bidang sosial politik. Bukankah tulisan ini yang sedang para pembaca baca juga
merupakan sebuah karya?
Karya inovasi
memang kental dengan yang namanya ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, apakah
berkarya adalah membuat alat-alat canggih melulu? Apakah inovasi selalu datang
jika adanya alat canggih dibuat? Tentu tidak. Inovasi sendiri didefinisikan
sebagai pemasukan atau pengenalan hal-hal baru yang berbeda dari gagasan,
metode, atau alat yang sudah ada atau sudah dikenal sebelumnya[1]. Jadi, tidak
harus sebuah alat, bukan? Karya inovasi itu sendiri bisa berupa barang atau
jasa. Esensi dari sebuah karya ialah karya harus berpengaruh dan bermanfaat
untuk kemaslahatan manusia. Maka dari itu, karya inovasi yang dibuat dalam
bentuk apapun haruslah berdampak positif bagi manusia dan lingkungan dalam
skala besar atau kecil.
Sekarang ini,
prestasi ITB yang sedang dibanding-bandingkan dengan prestasi perguruan tinggi
lainnya masih hangat dibicarakan. Padahal, jika kita mau menelusuri lebih jauh,
ITB pun punya karyanya sendiri. Memang, jumlahnya relatif tidak banyak dan
keberadaannya tidak begitu terekspos. Namun, pernahkah para pembaca
bertanya-tanya mengapa hal-hal mengenai kekaryaan tidak menjadi hal yang
menarik di ITB? Jawabannya satu: karena tidak ada atau kurang regenerasinya.
Mungkin para pembaca
ada yang pernah mengetahui kuesioner mengenai fokus kemahasiswaan ITB yang
disebarkan pada tahun 2014 silam. Hasilnya adalah kaderisasi di peringkat ke-1,
isu sosial politik negara di peringkat ke-2, pengabdian masyarakat di peringkat
ke-3, dan iptek di peringkat ke-4[2]. Dari hasil kuesioner tersebut, mahasiswa
ITB lebih menyukai mengurus kaderisasi kampus daripada mengurus iptek. Sungguh
sebuah ironi bahwa ITB yang merupakan institut teknologi malah tidak
mengedepankan iptek. Namun, ironi itulah yang menjadi kenyataan di ITB saat
ini. Sementara itu, daripada menyalahi keadaan, lebih baik ironi tersebut
dimanfaatkan untuk pengembangan karya inovasi, terutama di ITB. Ya, kita
mengembangkan kekaryaan di tengah atmosfer kaderisasi, perpolitikan, dan juga
pengabdian masyarakat di ITB yang sangat pekat. Tidak bisakah kita menularkan
semangat berkarya dengan kaderisasi? Tidak bisakah kita melakukan pergerakan
sosial politik atau sosial masyarakat melalui kekaryaan? Ketahuilah, hanya
dengan mengeluhkan ITB yang tidak bisa memenangkan kejuaraan kekaryaan manapun
tidak akan banyak mengubah apapun. Cukup mustahil regenerasi karya diwujudkan
jika para pembaca diam saja. Ini sudah saatnya kita bergerak untuk
berkontribusi di kekaryaan, baik langsung maupun tidak langsung.
Regenerasi
karya yang dilakukan perlu berpedoman pada Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tri
Dharma Perguruan Tinggi terdiri dari tiga pilar dasar pola pikir dan menjadi kewajiban bagi
mahasiswa, yakni 1) Pendidikan dan Pengajaran, 2) Penelitian dan
Pengembangan, dan 3) Pengabdian kepada Masyarakat. Dari pilar pertama, kita
mendidik dan mengajarkan orang-orang yang kita bina mengapa kita harus berkarya
dan bagaimana cara berkarya yang baik dan benar. Dari pilar kedua, kita
kembangkan ide, gagasan, pemikiran, dan inspirasi supaya dibuat karya inovasi
dan melakukan penelitian serta studi yang terkait setelahnya. Dari pilar
ketiga, kita harus memastikan bahwa karya inovasi yang dibuat memang bertujuan
untuk mengabdi kepada masyarakat. Di sini, subjek
regenerasi karya bisa jadi terbagi dua, yaitu regenerasi karya inovasinya dan
regenerasi orang yang berkaryanya. Sebuah karya inovasi akan semakin
bagus setiap harinya jika terus-menerus dikembangkan sehingga terdapat hasil
yang berkelanjutan, tidak terhenti hanya di suatu waktu. Mungkin saja
dibutuhkan pemutakhiran untuk karya terebut setiap beberapa waktu sekali. Itulah
yang dinamakan regenerasi karya inovasi.
Sumber daya
manusia di ITB, terutama mahasiswanya, bisa berubah-ubah secara kuantitas.
Memang, mahasiswa yang sudah lama berkuliah akan meninggalkan kampus lalu
digantikan dengan mahasiswa-mahasiswa baru. Akan tetapi, kualitas kekaryaan
masih dapat diteruskan dari masa ke masa, bahkan dibuat lebih baik lagi seiring
berjalannya waktu. Untuk regenerasi orang yang berkarya biasanya dilaksanakan
di bawah suatu kelompok atau lembaga kemahasiswaan tertentu di ITB. Suatu kelompok atau lembaga kemahasiswaan tertentu memberikan profil-profil keanggotan kelompok
atau lembaga kemahasiswaan tersebut
kepada anggota-anggotanya untuk dipenuhi, salah satunya mengenai keprofesian
yang dapat dimunculkan dalam bentuk karya inovasi. Kelompok atau lembaga kemahasiswaan yang sedang mengader anggota-anggotanya ini harus
mengikuti falsafah dasar keberadaan organisasi kemahasiswaan. Falsafah dasar
keberadaan organisasi kemahasiswaan yang dicetuskan oleh Muhammad Hatta
menyatakan bahwa tugas perguruan tinggi adalah membentuk manusia yang susila
dan demokrat yang memiliki
keinsafan tanggung jawab atas kesejahteraan masyarakatnya, cakap dan
mandiri dalam memelihara dan memajukan ilmu pengetahuan, dan cakap memangku
jabatan atau pekerjaan dalam masyarakat[3]. Falsafah dasar keberadaan
organisasi kemahasiswaan harus ditegakkan di dalam kaderisasi kelompok atau
lembaga kemahasiswaan di ITB seperti himpunan mahasiswa jurusan dan unit
kegiatan mahasiswa. Falsafah dasar keberadaan organisasi kemahasiswaan ini
mejadi pegangan mahasiswa yang merupakan insan akademis[4] jika para mahasiswa
mau berkarya dan itu diajarkan di kaderisasi kelompok atau lembaga
kemahasiswaan di ITB. Tentu kita mengetahui bahwa kaderisasi ada yang pasif dan
ada yang aktif. Kaderisasi pasif untuk para anggota muda yang sedang dikader
dalam orientasi jurusan (osjur) atau penerimaan mahasiswa anggota baru (PMAB). Kaderisasi
aktif untuk para anggota biasa dan orang-orang yang berada dalam jajaran badan
pengurus atau dewan-dewan di kelompok atau lembaga kemahasiswaan tersebut. Baik
mereka yang masih menjadi anggota muda maupun mereka yang sudah menjadi
pengurus himpunan memiliki kesempatan yang sama untuk berkarya inovasi. Bukankah
kaderisasi di suatu kelompok atau lembaga kemahasiswaan tertentu bisa
meningkatkan empati terhadap diri sendiri dan orang lain, lalu menemukan suatu
masalah, dan akhirnya menentukan solusi untuk masalah tersebut dalam bentuk
karya? Dari sinilah kaderisasi kelompok atau lembaga kemahasiswaan berperan
dalam regenerasi karya inovasi untuk orang-orang yang berkaryanya.
Penulis pribadi
menimbang bahwa regenerasi mengenai karya inovasi masih bisa digalakkan di
himpunan-himpunan mahasiswa jurusan atau di unit-unit kegiatan mahasiswa di ITB.
Melalui kaderisasi himpunan atau unit kegiatan, para kader yang awalnya tidak
tertarik untuk berkarya menjadi tertarik, keinsafan untuk berkarya dapat
ditumbuhkan, dan nilai-nilai kekaryaan (sebagai contoh: solutif, kritis,
progresif, dan adaptif[5]) tidak hanya ditanamkan kepada para kader, tetapi
juga dapat disemai. Sebut saja sebuah himpunan mahasiswa Rekayasa Pertanian
yang mampu memacu anggota-anggotanya agar berkarya untuk memajukan pertanian di
Indonesia atau unit kegiatan robotika yang melatih anggota-anggotanya membuat
robot yang bisa membantu pekerjaan manusia. Hal lain yang mungkin saja terjadi
adalah keinginan untuk mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) di tingkat
nasional bisa terpantik dari kaderisasi himpunan mahasiswa jurusan atau
kaderisasi unit kegiatan mahasiswa karena saat orientasi jurusan atau
penerimaan mahasiswa anggota baru di unit kegiatan diberikan materi tentang PKM.
Seorang mahasiswa yang berada di lingkungan yang penuh dengan orang-orang yang
berkarya juga berkemauan untuk berkarya karena pengaruh lingkungannya. Contoh-contoh
itu bisa menjadi bukti bahwa kaderisasi kelompok atau lembaga kemahasiswaan tersebut berhasil. Ya, kaderisasi yang terkesan abstrak
bisa menghasilkan keluaran yang nyata. Salah satu jalan agar identitas
mahasiswa sebagai insan akademis akan terlihat jika pada akhirnya mahasiswa
mampu membuat karya inovasi yang bermanfaat. Bermanfaat di sini tidak hanya
akan menimbulkan rasa puas bagi para pembuat karya dan para penggunanya, tetapi
juga ada nilai dalam manfaat penggunaannya.
Jadi, kekaryaan
tetap membutuhkan regenerasi, tidak?
Referensi:
[1] Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2005). Kamus
Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Hlm. 939—940.
[2] https://www.zenius.net/blog/15841/perkembangan-iptek-indonesia (diakses pada 12 Agustus 2018 pukul 21.57)
[3] Keluarga
Mahasiswa Institut Teknologi Bandung. (2015). Konsepsi Organisasi Kemahasiswaan
Keluarga Mahasiswa ITB Amandemen 2015. Hlm. 3.
[4] Ibid.
[5] Kabinet Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi
Bandung 2018/2019. (2018). Nilai Dasar Pergerakan KM ITB. Hlm. 12—14.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar