Rabu, 10 Juli 2019

Mengapa Tidak Shalat? (IV)

"Kalau terlanjur tidak shalat?"

Mungkin ada yang pernah mendapat broadcast seperti ini:
Bersabda Rasulullah SAW: "Barangsiapa selama hidupnya pernah meninggalkan shalat tetapi tidak dapat menghitung jumlahnya, maka shalatlah di hari Jumat terakhir bulan Ramadhan sebanyak 4 rakaat dengan 1 kali tasyahud (tasyahud akhir saja), tiap rakaat membaca 1 kali Fatihah kemudian surat Al-Qadar 15 kali dan surat Al-Kautsar 15 kali.
Niatnya: "Nawaitu ushollī arba-`a raka-`ātin kafaratan limā fātanī minashshalāti lillāhi ta-`ala.""
Sayyidina Abu Bakar ra. berkata, "Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Sholat tersebut sebagai kafarat (pengganti) sholat 400 tahun dan menurut Sayyidina Ali ra., shalat tersebut sebagai kafarat shalat 1000 tahun."
Maka, sahabat bertanya, "Umur manusia itu hanya 60 tahun atau 100 tahun, lalu untuk siapa kelebihannya?"
Rasulullah SAW menjawab, "Untuk kedua orangtuanya, istrinya, anaknya dan untuk sanak familinya, serta orang-orang yang di dekatnya/ lingkungannya."
Setelah shalat, sehabis salam, membaca shalawat Nabi sebanyak 100 kali dengan shalawat apa saja, lalu berdoa dengan doa ini tiga kali setelah membaca basmalah, hamdalah, istighfar, syahadat, dan shalawat.
Waktu pelaksanaan shalat sunnah kafarat ini dapat dilakukan antara waktu setelah pagi dhuha hingga sebelum ashar pada hari Jumat terakhir di bulan suci Ramadhan.

Disebut-sebut bahwa shalat tersebut adalah shalat kafarat di Jumat terakhir Ramadhan. Namun, apakah hal itu benar adanya?

Baiklah, kita akan membagi permasalahan ini menjadi dua bagian. Pertama, meninggalkan shalat secara tidak sengaja. Kedua, meninggalkan shalat secara sengaja.
  • Meninggalkan Shalat Secara Tidak Sengaja
Alasan seseorang diperbolehkan shalat di luar waktu adalah ketika dia memiliki udzur di luar kesengajaannya, seperti karena ketiduran atau kelupaan.
Dari Anas bin Malik, Nabi shallallāhu `alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang kelupaan shalat atau tertidur sehingga terlewat waktu shalat maka penebusnya adalah dia segera shalat ketika ia ingat."
(HR Ahmad no. 11972 dan Muslim no. 1600)
Dalam riwayat lain,
Dari Anas bin Malik radhiyallāhu `anhu, Nabi shallallāhu `alaihi wa sallam bersabda, "Siapa yang lupa shalat, maka dia harus shalat ketika ingat. Tidak ada kafarat untuk menebusnya selain itu."
(HR Bukhari no. 597 dan Muslim no. 1598)
Disebutkan dalam hadits yang lain bahwa Nabi shallallahu `alaihi wasallam pernah melakukan suatu perjalanan bersama para sahabat. Di malam harinya, mereka singgah di sebuah tempat untuk beristirahat. Namun, mereka kesiangan dan yang pertama bangun adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam karena sinar matahari. Kemudian, beliau berwudhu dan beliau memerintahkan agar adzan dikumandangkan. Lalu, beliau melaksanakan shalat qabliyah shubuh, kemudian beliau perintahkan agar seseorang beriqamah, dan beliau melaksanakan shalat subuh berjemaah. Para sahabat pun saling berbisik, "Apa penebus untuk kesalahan yang kita lakukan karena telat shalat?". Mendengar komentar mereka, Nabi shallallahu `alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya ketiduran bukan termasuk menyia-nyiakan shalat. Yang disebut menyia-nyiakan shalat adalah mereka yang menunda shalat hingga masuk waktu shalat berikutnya. Siapa yang ketiduran hingga telat shalat, maka hendaknya dia laksanakan ketika bangun." (HR Muslim no. 1594)

Itulah satu-satunya pengganti yang diizinkan. Tidak ada model pengganti (kafarah) lainnya. Seseorang yang kelupaan shalat harus segera shalat ketika dia ingat atau ketika dia bangun.
  • Meninggalkan Shalat Secara Sengaja
Lalu, bagaimana jika kita pernah sengaja tidak shalat? Kita menyesali perbuatan kita dan tidak akan mengulanginya lagi. Tidak bisakah kita menebusnya?

Caranya adalah dengan memperbanyak shalat sunnah karena shalat sunnah bisa menambal kekurangan dari shalat wajib yang dilakukan hamba ketika di hari hisab. Bukankah ibadah sunnah bisa melengkapi ibadah wajib?

Nabi shallallahu `alaihi wasallam bercerita proses hisab amal hamba, "Amal manusia pertama yang akan dihisab kelak di hari kiamat adalah shalat. Allah bertanya kepada para Malaikatnya–meskipun Dia paling tahu–"Perhatikan shalat hamba-Ku, apakah dia mengerjakannya dengan sempurna ataukah dia menguranginya?" Jika shalatnya sempurna, dicatat sempurna dan jika ada yang kurang, Allah berfirman, "Perhatikan, apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah?" Jika dia punya  shalat sunnah, Allah perintahkan, "Sempurnakan catatan shalat wajib hamba-Ku dengan shalat sunnah-nya."" (HR Nasa'i no. 465, Abu Daud no. 864, Tirmudzi no. 415, dan dishahihkan Syu`aib al-Arnauth)

Berdasarkan hadits di atas ini, bagi siapa saja yang meninggalkan shalat wajib, para ulama menganjurkan agar segera bertaubat dan perbanyak melakukan shalat sunnah dengan harapan shalat sunnah yang dia kerjakan bisa menjadi penebus kesalahannya.

Syaikhul Islam dalam Al-Ikhtiyrot hlm. 34 mengatakan, "Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja tidak disyariatkan meng-qadha-nya. Jika dilakukan, shalat qadha-nya tidak sah. Namun, yang dia lakukan adalah memperbanyak shalat sunah. Ini meruapakan pendapat sebagian ulama masa silam."

Keterangan lain disampaikan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla, 2/279: "Siapa yang sengaja meninggalkan shalat sampai keluar waktunya, maka selama dia tidak bisa meng-qadha-nya, hendaknya dia memperbanyak amal shaleh dan shalat sunnah agar memperberat timbangannya kelak di hari kiamat. Dia harus bertaubat dan banyak istighfar."

  • Jadi, bagaimana dengan kedudukan hadits yang ada di awal-awal?
Derajat hadits tersebut maudhu` (palsu) dan hadits tersebut tidak ada asal-usulnya (tidak punya sumber yang jelas, valid, dan akurat) karena riwayat tersebut tidak ada di dalam kitab-kitab hadits shahih maupun kitab-kitab hadits dho`if yang disusun oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jama`ah.

Bukti kepalsuan dan kebatilan hadits tersebut:
1. Riwayat tersebut bertentangan dengan hadits shohih yang diriwayatkan oleh imam Muslim di dalam kitab shahihnya.
 
Nabi shallallahu `alaihi wasallam bersabda,
"Barangsiapa yang tertidur atau lupa dari mengerjakan sholat, hendaknya ia mengerjakan shalat tersebut ketika ia ingat. Tidak ada kafarat (pengganti sholat) baginya kecuali melakukan hal itu."
(HR Muslim)
Hadits shahih ini menunjukkan disyariatkannya mengganti shalat-shalat yang terlewatkan dari waktunya karena dua sebab saja, yaitu lupa atau tertidur (tanpa sengaja) dari melaksanakan sholat pada waktunya.
Adapun jika seseorang meninggalkan shalat-shalat fardhu yang lima waktu dengan sengaja, maka kewajibannya adalah bertobat kepada Allah dengan taubat an-nasuha dan menurut pendapat sebagian ulama bahwa ia juga wajib menggantinya sejumlah dan sebanyak shalat-shalat yang pernah ia tinggalkan dengan sengaja. Jika ia lupa dan tidak yakin berapa banyak shalat yang ia tinggalkan, maka hendaknya ia memperkirakan jumlahnya sehingga ia mendekati rasa yakin.
2. Di dalam riwayat palsu tersebut disebutkan pelafazhan niat dengan mengucapkan Nawaitu ushollī arba-`a raka-`ātin kafaratan limā fātanī (Artinya: "Aku berniat melaksanakan shalat empat rakaat sebagai kafarat (pengganti/ penebus) shalat-shalat yang telah aku tinggalkan.").
 
Ini sudah jelas sebagai tanda kepalsuan dan kebatilan hadits ini karena Nabi shallallāhu `alaihi wa sallam tidak pernah melafazhkan niat ibadah dengan lisan beliau. Para ulama sunnah telah sepakat bahwa niat ibadah itu tempatnya di dalam hati, bukan di lisan.
3. Hadits palsu ini merendahkan perkara shalat yang mana kedudukannya sangat tinggi di dalam syariat Islam, bahkan bisa mendorong sebagian orang untuk meremehkan dan meninggalkan sholat karena malas dan mereka beranggapan bahwa semua sholat yang ditinggalkannya dapat ditebus dan diganti dengan melaksanakan shalat sunnah kafarat sebanyak 4 rakaat saja pada hari Jumat terakhir dari bulan Ramadhan.
4. Ali al-Qari rahimahullāh di dalam kitab Al-Maudhu`at Ash-Shughra dan Al-Maudhu`at Al-Kubra mengatakan tentang hadits sholat sunnah kafarat: "Ini adalah hadits batil secara pasti sebab bertentangan dengan ijma' (konsensus para ulama) bahwa satu ibadah tidak akan bisa mengganti ibadah-ibadah lain yang terlewatkan (ditinggalkan) apalagi sampai bertahun-tahun. Hadits tersebut diriwayatkan oleh pensyarah kitab Nihayah, mereka itu bukan ahli hadits, maka meraka juga tidak menyebutkan sanadnya yang lengkap."
5. Syaikh Abdul Aziz rahimahullāh pernah ditanya tentang derajat hadits shalat kafarat yang dilakukan pada hari Jumat terakhir dari bulan Ramadhan dan beliau menjawab, "Hadits tersebut tidak ada asal-usulnya bahkan hadits tersebut maudhu` (palsu) dan batil yang didustakan atas nama Rasulullah shallallāhu `alaihi wa sallam. Oleh karenanya, kita harus waspada dan memberikan peringatan dari penyebarluasan hadits palsu ini karena sesungguhnya ini merupakan kedustaan atas nama Nabi shallallahu alaihi wasallam yang telah diperingatkan oleh beliau dengan sabdanya:
"Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya ia mempersiapkan tempat duduknya dari api neraka."
(HR Bukhari no. 6197 dan Muslim no. 3)
Dari Mughirah radhiyallāhu `anhu, Nabi shallallāhu `alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya, berdusta atas namaku tidak seperti berdusta atas nama orang lain. Siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaknya dia siapkan tempatnya di neraka."
(HR Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 5)
"Siapa yang meriwayatkan dariku suatu hadits yang ia menduga bahwa itu dusta, maka dia adalah salah seorang dari dua pendusta (karena meriwayatkannya)."
(HR Muslim dalam muqaddimah kitab shahihnya pada Bab "Wajibnya Meriwayatkan dari Orang yang Tsiqah (Terpercaya)" dan Ibnu Majah no. 39. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Jadi, shalat-shalat yang ditinggalkan dengan sengaja sepanjang hidupnya tidak dapat diganti hanya dengan melaksanakan sholat kafarat sebanyak 4 rakaat pada hari Jumat terakhir dari bulan Ramadhan dengan sifat dan cara yang disebutkan di dalam hadits palsu tersebut.

Rujukan:

Allāhu a`-lam.
Sudah. Itu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar