Senin, 01 Juli 2019

Membangun Kaderisasi yang Produktif

Bayangkan lingkungan tempat kita tinggal adalah sebuah kanvas. Kanvas tersebut mulai diisi oleh cat dengan bermacam-macam warna dan cat warna-warni ini adalah kita, para manusia. Dari cat warna-warni tersebut, terbentuklah lukisan di kanvas tersebut. Suatu lukisan bisa lebih indah karena warna cat yang beragam dan komposisinya yang sesuai. Selanjutnya, bagaimana "membingkai" lukisan agar tampak lebih "menjual"?
 
Kaderisasi diambil dari kata dalam bahasa Prancis, cadre, yang berarti bingkai atau kerangka. Kaderisasi memiliki kata dasar 'kader'. Kader berarti orang yang diharapkan akan memegang peran yang penting dalam pemerintahan, partai, dan sebagainya. Kualitas suatu lingkungan memang ditentukan dari kualitas orang-orangnya. Lingkungan bisa berkembang karena orang-orang di dalamnya turut berkembang. Namun, pernahkan terpikir bagaimana suatu lingkungan bisa berkembang jika orang-orangnya tidak peduli dengan lingkungannya sendiri? Kaderisasi ada untuk membantu orang-orangnya mengenal dan memahami lingkungannya sendiri. Orang-orang, manusia yang hidup di dalam lingkungannya, senantiasa membutuhkan tempat untuk berkembang karena memang begitulah kebutuhan seorang manusia. Jika manusia ingin berkembang di tempatnya, tentu manusia perlu mengenal dan memahami lingkungannya. Kaderisasi menjadi media interaksi antara manusia dan lingkungannya.

Manusia membutuhkan interaksi dengan segala hal yang ada di sekitarnya sebagai bentuk pemenuhan peran yang dijalani. Maka dari itu, kaderisasi merupakan proses humanisasi dengan pemenuhan nilai-nilai tertentu selama kaderisasi. Humanisme yang diterapkan dalam kaderisasi harus melibatkan rasa, karsa, cipta, dan karya (selanjutnya disingkat RKCK). Sebagaimana tujuan pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia, kaderisasi adalah bentuk pendidikan supaya dapat selaras dengan kodratnya, serasi dengan adat istiadat, dinamis, memperhatikan sejarah bangsa dan membuka diri pada pergaulan kebudayaan lain[1]. RKCK sendiri merupakan falsafah yang dicetuskan agar manusia dapat menyeimbangkan aspek-aspek yang dibutuhkan untuk mengembangkan potensi manusiawinya[2].

1. Rasa
Rasa, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bisa didefinisikan sebagai 1) tanggapan hati terhadap sesuatu dan 2) pendapat (pertimbangan) mengenai baik atau buruk, salah atau benar. Rasa dihubungkan dengan emosi, hati, nurani, kalbu, moral, dan olah rasa. Rasa merupakan sesuatu yang paling abstrak di antara komponen RKCK ini. Untuk menanggapi suatu keadaan di lingkungannya harus dimulai dengan banyak merasakan terlebih dahulu. Hal tersebutlah yang menjadi stimulasi perasaan akan hal yang terjadi secara nyata di sekitar. Pembentukan rasa meliputi tanggapan secara sensoris, fisik, emosional, dan kognitif.
Gambar 1
Struktur Rasa
(Sumber: Rahmawati, 2012)

Pada tingkat ini, kesadaran akan terbentuk, mulai dari kesadaran untuk diri sendiri hingga kesadaran akan lingkungannya.

2. Karsa
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karsa diartikan sebagai 1) daya (kekuatan) jiwa yang mendorong makhluk hidup untuk berkehendak dan 2) kehendak atau niat. Karsa dihubungkan dengan motivasi, kehendak, tekad, niat, semangat, dan kesungguhan. Setelah kesadaran terbentuk, individu dapat berkehendak sesuai dengan kesadaran yang dimilikinya. Pada tingkat ini, kesadaran akan ditanggapi hingga individu berkemauan untuk melakukan sesuatu secara nyata.

3. Cipta 
Cipta adalah kemampuan pikiran untuk mengadakan sesuatu yang baru. Cipta dihubungkan dengan pikiran, pengetahuan, wawasan, gagasan, ide, nalar, logika, rancangan, kreasi, inovasi, imajinasi, perenungan, dan inspirasi. Manusia sebagai makhluk yang berpikir mulai merancang hal-hal yang akan dilakukan untuk menanggapi suatu stimulus yang menghinggapinya. Perancangan ini akan melahirkan strategi, metode, target, dan sasaran mengenai suatu permasalahan yang akan dilakukan.
Gambar 2
Gambaran Cipta
(Sumber: Rahmawati, 2012)

4. Karya 
Karya bermakna pekerjaan; hasil perbuatan, buatan, atau ciptaan. Ketiga komponen sebelumnya, rasa, karsa, dan cipta, harus dituang agar menghasilkan sesuatu yang konkret. Seringnya, implementasi kaderisasi terhenti di ketiga komponen sebelumnya. Hal itulah yang menyebabkan kaderisasi seperti tidak menghasilkan apa-apa secara nyata. Pikiran (cipta) harus dibuat menjadi tindakan nyata (karya). Pikiran yang positif akan menghasilkan tindakan yang positif. Begitu juga dengan pikiran negatif yang akan menghasilkan tindakan negatif.

Tindakan yang dilakukan akan dijadikan sebuah karya yang betul-betul memberikan dampak. Karya yang dihasilkan tidak hanya harus indah dilihat, tetapi juga bermanfaat dan memberikan efek positif untuk sekitar. "Bagaimana cara membuat karya secara optimal?" Dengan memahami dan menikmati proses pembuatan karya tersebut, tidak hanya hasilnya saja.

Siapakah Pengader? Siapakah yang Dikader?
Ada pepatah Arab mengatakan, "Ishlah nafsaka wad'u ghairaka" yang berarti perbaiki diri sendiri sambil ajak orang lain (kepada kebaikan). Kata hubung 'sambil' menegaskan bahwa memperbaiki diri sendiri dan mengajak orang lain kepada kebaikan dilakukan secara bersamaan. Jadi, memperbaiki diri sendiri terlebih dahulu lalu mengajak orang lain tidak selalu benar. Tentu saja kaderisasi merupakan bentuk komunikasi dua arah. Kaderisasi adalah ejawantahan dari pepatah Arab tersebut. Selain itu, kaderisasi yang baik seharusnya mengajarkan kebaikan dan kebenaran dengan ketulusan, bukan ajang keren-kerenan "impresi".

Memang, tidak ada manusia yang sempurna, tetapi itulah esensi dari kaderisasi: belajar. Jangan sampai itu menghalangi dari mengerjakan dua hal yang menjadi kewajiban, yaitu 1) mengerjakan kebaikan dan meninggalkan kejahatan dan 2) mengajak orang lain dalam kebaikan dan mencegah orang lain berbuat kejahatan. Manusia yang tidak/belum bisa melakukan kedua kewajiban itu cukup dimulai dengan mengerjakan satu dari dua kewajiban tersebut, yakni mengajarkan kebenaran walaupun belum sanggup melakukannya sendiri. Itu lebih baik ketimbang diam saja dan tidak mengerjakan satupun dari keduanya sama sekali karena merasa belum sanggup melakukan. Itulah yang dimaksud dengan 'mengatakan apa yang dikerjakan'[3]

Tidak menutup kemungkinan bahwa setiap manusia bisa mengader dirinya sendiri. Membentuk manusia-manusia hanya akan berhasil jika manusia-manusia yang kita bentuk mau membentuk diri mereka sendiri juga. Tanpa ada pemaksaan.

Referensi:
[1] Dewantara, K. H. (1962). Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Percetakan Majelis Luhur Taman Siswa.
[2] Rachmawati, Y. (2012). Pendidikan Karakter Melalui Pengembangan Model Pembelajaran RKCK (Rasa Karsa Cipta Karya). Jurnal Pendidikan Anak, 1(1), 21—30.
[3] Q.S. Ash-Shaff [61]: 23.

1 komentar:

  1. Caranya adalah dengan memperbanyak shalat sunnah karena shalat sunnah bisa menambal kekurangan dari shalat wajib yang dilakukan hamba ketika di hari hisab. Bukankah ibadah sunnah bisa melengkapi ibadah wajib?
    gta 5 apk

    BalasHapus