Rabu, 10 Juli 2019

Mengapa Tidak Shalat? (IV)

"Kalau terlanjur tidak shalat?"

Mungkin ada yang pernah mendapat broadcast seperti ini:
Bersabda Rasulullah SAW: "Barangsiapa selama hidupnya pernah meninggalkan shalat tetapi tidak dapat menghitung jumlahnya, maka shalatlah di hari Jumat terakhir bulan Ramadhan sebanyak 4 rakaat dengan 1 kali tasyahud (tasyahud akhir saja), tiap rakaat membaca 1 kali Fatihah kemudian surat Al-Qadar 15 kali dan surat Al-Kautsar 15 kali.
Niatnya: "Nawaitu ushollī arba-`a raka-`ātin kafaratan limā fātanī minashshalāti lillāhi ta-`ala.""
Sayyidina Abu Bakar ra. berkata, "Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Sholat tersebut sebagai kafarat (pengganti) sholat 400 tahun dan menurut Sayyidina Ali ra., shalat tersebut sebagai kafarat shalat 1000 tahun."
Maka, sahabat bertanya, "Umur manusia itu hanya 60 tahun atau 100 tahun, lalu untuk siapa kelebihannya?"
Rasulullah SAW menjawab, "Untuk kedua orangtuanya, istrinya, anaknya dan untuk sanak familinya, serta orang-orang yang di dekatnya/ lingkungannya."
Setelah shalat, sehabis salam, membaca shalawat Nabi sebanyak 100 kali dengan shalawat apa saja, lalu berdoa dengan doa ini tiga kali setelah membaca basmalah, hamdalah, istighfar, syahadat, dan shalawat.
Waktu pelaksanaan shalat sunnah kafarat ini dapat dilakukan antara waktu setelah pagi dhuha hingga sebelum ashar pada hari Jumat terakhir di bulan suci Ramadhan.

Disebut-sebut bahwa shalat tersebut adalah shalat kafarat di Jumat terakhir Ramadhan. Namun, apakah hal itu benar adanya?

Baiklah, kita akan membagi permasalahan ini menjadi dua bagian. Pertama, meninggalkan shalat secara tidak sengaja. Kedua, meninggalkan shalat secara sengaja.
  • Meninggalkan Shalat Secara Tidak Sengaja
Alasan seseorang diperbolehkan shalat di luar waktu adalah ketika dia memiliki udzur di luar kesengajaannya, seperti karena ketiduran atau kelupaan.
Dari Anas bin Malik, Nabi shallallāhu `alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang kelupaan shalat atau tertidur sehingga terlewat waktu shalat maka penebusnya adalah dia segera shalat ketika ia ingat."
(HR Ahmad no. 11972 dan Muslim no. 1600)
Dalam riwayat lain,
Dari Anas bin Malik radhiyallāhu `anhu, Nabi shallallāhu `alaihi wa sallam bersabda, "Siapa yang lupa shalat, maka dia harus shalat ketika ingat. Tidak ada kafarat untuk menebusnya selain itu."
(HR Bukhari no. 597 dan Muslim no. 1598)
Disebutkan dalam hadits yang lain bahwa Nabi shallallahu `alaihi wasallam pernah melakukan suatu perjalanan bersama para sahabat. Di malam harinya, mereka singgah di sebuah tempat untuk beristirahat. Namun, mereka kesiangan dan yang pertama bangun adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam karena sinar matahari. Kemudian, beliau berwudhu dan beliau memerintahkan agar adzan dikumandangkan. Lalu, beliau melaksanakan shalat qabliyah shubuh, kemudian beliau perintahkan agar seseorang beriqamah, dan beliau melaksanakan shalat subuh berjemaah. Para sahabat pun saling berbisik, "Apa penebus untuk kesalahan yang kita lakukan karena telat shalat?". Mendengar komentar mereka, Nabi shallallahu `alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya ketiduran bukan termasuk menyia-nyiakan shalat. Yang disebut menyia-nyiakan shalat adalah mereka yang menunda shalat hingga masuk waktu shalat berikutnya. Siapa yang ketiduran hingga telat shalat, maka hendaknya dia laksanakan ketika bangun." (HR Muslim no. 1594)

Itulah satu-satunya pengganti yang diizinkan. Tidak ada model pengganti (kafarah) lainnya. Seseorang yang kelupaan shalat harus segera shalat ketika dia ingat atau ketika dia bangun.
  • Meninggalkan Shalat Secara Sengaja
Lalu, bagaimana jika kita pernah sengaja tidak shalat? Kita menyesali perbuatan kita dan tidak akan mengulanginya lagi. Tidak bisakah kita menebusnya?

Caranya adalah dengan memperbanyak shalat sunnah karena shalat sunnah bisa menambal kekurangan dari shalat wajib yang dilakukan hamba ketika di hari hisab. Bukankah ibadah sunnah bisa melengkapi ibadah wajib?

Nabi shallallahu `alaihi wasallam bercerita proses hisab amal hamba, "Amal manusia pertama yang akan dihisab kelak di hari kiamat adalah shalat. Allah bertanya kepada para Malaikatnya–meskipun Dia paling tahu–"Perhatikan shalat hamba-Ku, apakah dia mengerjakannya dengan sempurna ataukah dia menguranginya?" Jika shalatnya sempurna, dicatat sempurna dan jika ada yang kurang, Allah berfirman, "Perhatikan, apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah?" Jika dia punya  shalat sunnah, Allah perintahkan, "Sempurnakan catatan shalat wajib hamba-Ku dengan shalat sunnah-nya."" (HR Nasa'i no. 465, Abu Daud no. 864, Tirmudzi no. 415, dan dishahihkan Syu`aib al-Arnauth)

Berdasarkan hadits di atas ini, bagi siapa saja yang meninggalkan shalat wajib, para ulama menganjurkan agar segera bertaubat dan perbanyak melakukan shalat sunnah dengan harapan shalat sunnah yang dia kerjakan bisa menjadi penebus kesalahannya.

Syaikhul Islam dalam Al-Ikhtiyrot hlm. 34 mengatakan, "Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja tidak disyariatkan meng-qadha-nya. Jika dilakukan, shalat qadha-nya tidak sah. Namun, yang dia lakukan adalah memperbanyak shalat sunah. Ini meruapakan pendapat sebagian ulama masa silam."

Keterangan lain disampaikan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla, 2/279: "Siapa yang sengaja meninggalkan shalat sampai keluar waktunya, maka selama dia tidak bisa meng-qadha-nya, hendaknya dia memperbanyak amal shaleh dan shalat sunnah agar memperberat timbangannya kelak di hari kiamat. Dia harus bertaubat dan banyak istighfar."

  • Jadi, bagaimana dengan kedudukan hadits yang ada di awal-awal?
Derajat hadits tersebut maudhu` (palsu) dan hadits tersebut tidak ada asal-usulnya (tidak punya sumber yang jelas, valid, dan akurat) karena riwayat tersebut tidak ada di dalam kitab-kitab hadits shahih maupun kitab-kitab hadits dho`if yang disusun oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jama`ah.

Bukti kepalsuan dan kebatilan hadits tersebut:
1. Riwayat tersebut bertentangan dengan hadits shohih yang diriwayatkan oleh imam Muslim di dalam kitab shahihnya.
 
Nabi shallallahu `alaihi wasallam bersabda,
"Barangsiapa yang tertidur atau lupa dari mengerjakan sholat, hendaknya ia mengerjakan shalat tersebut ketika ia ingat. Tidak ada kafarat (pengganti sholat) baginya kecuali melakukan hal itu."
(HR Muslim)
Hadits shahih ini menunjukkan disyariatkannya mengganti shalat-shalat yang terlewatkan dari waktunya karena dua sebab saja, yaitu lupa atau tertidur (tanpa sengaja) dari melaksanakan sholat pada waktunya.
Adapun jika seseorang meninggalkan shalat-shalat fardhu yang lima waktu dengan sengaja, maka kewajibannya adalah bertobat kepada Allah dengan taubat an-nasuha dan menurut pendapat sebagian ulama bahwa ia juga wajib menggantinya sejumlah dan sebanyak shalat-shalat yang pernah ia tinggalkan dengan sengaja. Jika ia lupa dan tidak yakin berapa banyak shalat yang ia tinggalkan, maka hendaknya ia memperkirakan jumlahnya sehingga ia mendekati rasa yakin.
2. Di dalam riwayat palsu tersebut disebutkan pelafazhan niat dengan mengucapkan Nawaitu ushollī arba-`a raka-`ātin kafaratan limā fātanī (Artinya: "Aku berniat melaksanakan shalat empat rakaat sebagai kafarat (pengganti/ penebus) shalat-shalat yang telah aku tinggalkan.").
 
Ini sudah jelas sebagai tanda kepalsuan dan kebatilan hadits ini karena Nabi shallallāhu `alaihi wa sallam tidak pernah melafazhkan niat ibadah dengan lisan beliau. Para ulama sunnah telah sepakat bahwa niat ibadah itu tempatnya di dalam hati, bukan di lisan.
3. Hadits palsu ini merendahkan perkara shalat yang mana kedudukannya sangat tinggi di dalam syariat Islam, bahkan bisa mendorong sebagian orang untuk meremehkan dan meninggalkan sholat karena malas dan mereka beranggapan bahwa semua sholat yang ditinggalkannya dapat ditebus dan diganti dengan melaksanakan shalat sunnah kafarat sebanyak 4 rakaat saja pada hari Jumat terakhir dari bulan Ramadhan.
4. Ali al-Qari rahimahullāh di dalam kitab Al-Maudhu`at Ash-Shughra dan Al-Maudhu`at Al-Kubra mengatakan tentang hadits sholat sunnah kafarat: "Ini adalah hadits batil secara pasti sebab bertentangan dengan ijma' (konsensus para ulama) bahwa satu ibadah tidak akan bisa mengganti ibadah-ibadah lain yang terlewatkan (ditinggalkan) apalagi sampai bertahun-tahun. Hadits tersebut diriwayatkan oleh pensyarah kitab Nihayah, mereka itu bukan ahli hadits, maka meraka juga tidak menyebutkan sanadnya yang lengkap."
5. Syaikh Abdul Aziz rahimahullāh pernah ditanya tentang derajat hadits shalat kafarat yang dilakukan pada hari Jumat terakhir dari bulan Ramadhan dan beliau menjawab, "Hadits tersebut tidak ada asal-usulnya bahkan hadits tersebut maudhu` (palsu) dan batil yang didustakan atas nama Rasulullah shallallāhu `alaihi wa sallam. Oleh karenanya, kita harus waspada dan memberikan peringatan dari penyebarluasan hadits palsu ini karena sesungguhnya ini merupakan kedustaan atas nama Nabi shallallahu alaihi wasallam yang telah diperingatkan oleh beliau dengan sabdanya:
"Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya ia mempersiapkan tempat duduknya dari api neraka."
(HR Bukhari no. 6197 dan Muslim no. 3)
Dari Mughirah radhiyallāhu `anhu, Nabi shallallāhu `alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya, berdusta atas namaku tidak seperti berdusta atas nama orang lain. Siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaknya dia siapkan tempatnya di neraka."
(HR Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 5)
"Siapa yang meriwayatkan dariku suatu hadits yang ia menduga bahwa itu dusta, maka dia adalah salah seorang dari dua pendusta (karena meriwayatkannya)."
(HR Muslim dalam muqaddimah kitab shahihnya pada Bab "Wajibnya Meriwayatkan dari Orang yang Tsiqah (Terpercaya)" dan Ibnu Majah no. 39. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Jadi, shalat-shalat yang ditinggalkan dengan sengaja sepanjang hidupnya tidak dapat diganti hanya dengan melaksanakan sholat kafarat sebanyak 4 rakaat pada hari Jumat terakhir dari bulan Ramadhan dengan sifat dan cara yang disebutkan di dalam hadits palsu tersebut.

Rujukan:

Allāhu a`-lam.
Sudah. Itu saja.

Mengapa Tidak Shalat? (III)

Mengatur Waktu Sedemikian Rupa

Allah berfirman, "Sesungguhnya shalat merupakan kewajiban bagi orang beriman yang telah ditetapkan waktunya." (Q.S. An-Nisā' [4]: 103). Sesuai dengan firman Allah tersebut, shalat adalah kewajiban yang dibatasi waktunya. Dalam shalat wajib, ada batas awal dan ada batas akhir. Orang yang mengerjakan shalat setelah batas akhir statusnya batal, sebagaimana orang yang mengerjakan shalat sebelum masuk waktu juga batal. Jadi, hukum asal shalat wajib harus dikerjakan pada waktu yang telah ditentukan. Dan, tidak boleh keluar dari hukum asal ini kecuali karena ada sebab yang diizinkan oleh syariat seperti alasan bolehnya menjamak shalat.

Waktu mempunyai kedudukan penting dalam berjalannya aktivitas di alam semesta ini. Islam sendiri memiliki konsep yang jelas tentang waktu. Konsep waktu dalam Islam ada lima hal. Konsep pertama adalah ajal. Ajal bermakna waktu memiliki batas yang ditetapkan. Segala sesuatu di dunia memiliki kecenderungan pada penetapan akan batas berlakunya. Tiap-tiap hal mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak pula mendahulukannya (ajal/batas waktu).
"Bagi setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun."
(Q.S. Yunus [10]: 49)
Konsep kedua adalah dahr. Dahr bermakna waktu memiliki bentangan (rentang waktunya). Dalam Al-Qur'an banyak terdapat penjelasan mengenai bentangan waktu yang dilalui dunia dalam kehidupan, dimulai dari penciptaan alam semesta hingga datangnya hari kiamat/akhir.
"Dan mereka berkata, “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.” Tetapi mereka tidak mempunyai ilmu tentang itu, mereka hanyalah menduga-duga saja."
(Q.S. Al-Jatsiyah [45]: 24)
Konsep ketiga adalah waqt. Waqt bermakna waktu menentukan adanya kesempatan arau peluang. Kesempatan atau peluang yang ada memiliki batas akhir untuk menyelesaikan suatu peristiwa. Kita mengetahui shalat adalah ibadah fardhu yang ditentukan waktunya. Kita sebagai orang beriman harus mematuhi dan melaksanakan shalat sesuai ketentuan. Bukankah dengan shalat tepat waktu kita menjadi merasa aman?
"Selanjutnya, apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah ketika kamu berdiri, pada waktu duduk dan ketika berbaring. Kemudian, apabila kamu telah merasa aman, maka laksanakanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman."
(An-Nisā' [4]: 103)
Konsep keempat adalah `ashr. `Ashr bermakna waktu pasti dilalui. `Ashr artinya 'perasan'. Masa yang pasti dilalui akan menentukan hasil "perasan" sesuai fungsi waktu yang berlaku. Bagian pentingnya, apakah kita telah memanfaatkan fungsi waktu untuk menghasilkan sesuatu demi memenuhi kebutuhan kita sendiri?
(Q.S. Al-`Ashr [103]: 13)

Konsep kelima adalah waktu bersifat relatif. Dalam Al-Qur'an (Q.S. Al-Kahfi [18]: 926) terdapat cerita tentang pemuda Ashabul Kahfi yang tertidur selama lebih dari tiga abad (309 tahun) dalam sebuah gua dan ketika terbangun, mereka mengira hanya tidur selama sehari. Kisah tentang Ashabul Kahfi dapat dibuktikan melalui fisika modern dengan Teori Relativitas Einstein. Menurut teori ini, jika suatu benda bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya, maka ia akan mengalami dilatasi waktu dan kontraksi panjang. Dilatasi waktu berarti pemekaran waktu. Aplikasi perhitungan rumus Teori Relativitas menyebutkan bahwa waktu yang berjalan di bumi lebih lambat dari waktu yang berjalan di ruang angkasa.

Rentang waktu 14 abad antara diturunkannya al-Qur'an dengan dijabarkannya Teori Relativitas merupakan bukti yang cukup bahwa al-Qur'an benar-benar firman Allah subhanahu wa ta`ala dan tidak ada keraguan untuk mengimaninya.
Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, "Barangsiapa menguraikan Al-Qur'an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan."
(HR Ahmad)
Dari Ibnu `Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, "Di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya."
(HR Ath-Thabarani)

Akal pikiran mengikuti dalil naqli atau akal pikiran mengikuti firman-Nya adalah
  1. Memahami dengan mendengarkan apa yang disampaikan oleh ulama-ulama bersanad ilmu tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam,
  2. Memahami dengan alat-alat bahasa seperti nahwu, sharaf, balaghah, makna majaz, dll., dan
  3. Memahami dengan akal qalbu. Akal pikiran mengikuti akal kalbu. Akal pikiran (otak/logika/memori) mengikuti qalbu yang telah diilhamkan oleh Allah `azza wa jalla.

Gunakanlah akal pikiran kita dengan bijak untuk memahami waktu. Di dalam Al-Qur'an, Allah sering bersumpah dengan waktu. Allah sudah membagi hari kita menjadi siang dan malam. Siang untuk beraktivitas dan bekerja, malam untuk beristirahat. Kemudian, terdapat lima waktu shalat dalam sehari. Dalam sehari, pembagian waktu dapat dibagi menjadi lima sesuai waktu shalat untuk memberikan gambaran pembagian waktu untuk kita. Beginilah pembagian hari dengan waktu shalat:
  1. Waktu subuh/fajar, menyiapkan dan melakukan persiapan untuk sehari. Jangan lupa untuk memohon kepada Allah agar hari kita dimudahkan.
  2. Waktu dzuhur, melakukan evaluasi kegiatan kita dari pagi hingga tengah hari, apakah sudah bermanfaat atau tidak.
  3. Waktu ashar, memastikan aktivitas yang dilakukan dengan keimanan dan telah meniatkan setiap kegiatan hanya dengan niat karena Allah agar menjadi amal salih.
  4. Waktu maghrib, memanfaatkan waktu yang tersisa untuk beribadah. Jangan sampai waktu kita habis sehingga tidak melakukan amal salih.
  5. Waktu isya', mengevaluasi secara keseluruhan kegiatan kita seharian. Waktu kita telah selesai dan berakhir untuk beribadah dalam satu hari.
Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam senantiasa menjaga shalat lima waktunya ditambah shalat sunnah. Kita bisa meneladani Rasulullah dengan mencari tahu apa yang Rasulullah lakukan dalam setiap waktunya. Kita pun harus menjaga shalat kita. Kita terkadang lebih sering mencari waktu luang untuk beribadah, padahal seharusnya kita yang meluangkan waktu untuk beribadah. Shalat wajib hanya memerlukan waktu sekitar 5 menit tiap kali shalat. Lima kali shalat berarti 25 menit. Dalam sehari terdapat waktu 24 jam atau 1440 menit. Masih ada waktu untuk melakukan aktivitas lain, bukan? Jadi, luangkanlah waktu sejenak untuk beribadah, ya.

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan."
(Q.S. Al-Hasyr [59]: 18)

Rujukan:
https://www.hidayatullah.com/kajian/gaya-hidup-muslim/read/2012/03/13/57484/waspadai-jebakan-waktu-luang.html
https://www.hidayatullah.com/kajian/gaya-hidup-muslim/read/2014/09/18/29705/berburu-amal-dan-berpacu-dengan-waktu.html
https://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/prh6fn313/konsep-waktu-dalam-pandangan-islam

Sudah. Itu saja.

Sabtu, 06 Juli 2019

5 Perkara untuk Menghadapi Industri 4.0 (Sosial Budaya)

Pendahuluan
Revolusi industri sudah dimulai pada akhir abad ke-18 M di Inggris, Britania Raya. Revolusi industri pertama dimulai dengan adanya mesin uap dan mekanisasi, kedua ditengarai dengan adanya sistem transportasi, pelistrikan, dan pemanufakturan, ketiga diinisiasi dengan adanya digitalisasi dan otomatisasi, hingga yang sekarang sedang mengalami eskalasi adalah revolusi industri keempat, atau biasa disebut Industri 4.0. Revolusi industri seperti ini sendiri ada demi memudahkan manusia dalam produksi barang secara masal. Saat ini, Industri 4.0 memudahkan manusia dengan munculnya internet dan konsep fisik yang disajikan secara virtual di dunia maya[1].
Perkembangan industri yang pesat menuntut manusia-manusia yang ada di bumi ini untuk turut menyesuaikan diri. Hal itulah yang mendorong manusia saat ini untuk memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap, dan karakter yang mumpuni[2]. Kementerian Perindustrian Republik Indonesia pun merumuskan penilaian khusus kesiapan Indonesia menghadapi Industri 4.0 dalam Indonesia Industry 4.0 Readiness Index (INDI 4.0) sebagai peta jalan Making Indonesia 4.0. Dengan adanya INDI 4.0, masyarakat Indonesia bisa menyiapkan apa saja yang diperlukan dalam menghadapi Industri 4.0 pada segala aspek[3]. Making Indonesia 4.0 dapat berjalan jika didukung oleh masyarakatnya yang berkontribusi demi kemajuan Indonesia. Untuk mengasah pengetahuan, keterampilan, sikap, dan karakter, lima perkara sederhana tetapi esensial yang dipaparkan di bawah ini dapat dilakukan demi menghadapi Industri 4.0 baik oleh setiap individu maupun oleh organisasi besar.
Berikut adalah kelima perkara tersebut:

5 Perkara untuk Menghadapi Industri 4.0
  • Mencari pengalaman sebanyak mungkin
Generasi milenial seringkali mengeluarkan biaya untuk pergi jalan-jalan ke suatu tempat ketimbang berinvestasi untuk aset[4]. Hal itu bukanlah sebuah masalah, melainkan suatu peluang. Pergi jalan-jalan membantu untuk mempelajari banyak budaya dan bahasa baru di setiap tempat yang dikunjungi, baik budaya daerah lokal maupun budaya asing. Selain itu, pergi jalan-jalan juga dapat melatih soft skill dan menjalin hubungan dengan manusia lain[5].
Metode pembelajaran yang efektif adalah dengan terjun langsung ke lapangan dan merasakan sendiri apa yang dialami[6]. Tidak mengapa jika pada suatu ketika  seseorang mengalami kegagalan karena kegagalan bukanlah halangan untuk mencapai kesuksesan. Seorang pelaku industri harus dapat memegang nilai-nilai penting demi keberjalanan apapun yang diusahakannya meskipun banyak rintangan yang akan dilalui[7]. Oleh karenanya, menjalin hubungan dengan banyak entitas industri menjadi penting untuk dilakukan dalam rangka mewujudkan Industri 4.0.
  • Meningkatkan keamanan cyber
Keberadaan big data sangat memudahkan untuk mengakses informasi yang dibutuhkan. Internet of Things (IoT) dan Internet of Services (IoS) memungkinkan manusia untuk terus terkoneksi satu sama lain tanpa batas waktu dan tempat. Namun, dunia maya pun tidak terlepas dari adanya bahaya. Bahaya yang sering mengintai adalah virus malware (perangkat perusak), file CAD spionase, dan pencurian data melalui Human-Machine Interfaces (HMI) oleh pihak tidak bertanggung jawab sehingga disalahgunakan[8].
Pelaku industri perlu untuk meningkatkan keamanan bersama tim IT-nya, memastikan keamanan teknologi dari penyuplai gawainya, serta melakukan segregasi antara jaringan lokal dan peranti IoT-nya. Semakin luas jaringan, semakin terekspos data-data pribadi dan besar kemungkinannya untuk dicuri. Penggunaan sandi unik yang kuat akan mengunci data-data agar tidak terjadi “kebocoran” baik bila memanfaatkan server cloud atau server lokal. Selain itu, sistem keamanan cyber pada industri perlu untuk diperbarui secara berkala. Kebiasaan untuk mengutamakan keamanan informasi pada industri harus diterapkan[9].
  • Mendalami sektor-sektor industri penting
Gambar 1. Matriks Sektor Prioritas di Industri 4.0
(Sumber: Atmawinata, 2018)




Kementerian Perindustrian Republik Indonesia menyatakan adanya lima sektor penting yang urgen untuk dikembangkan di Indonesia, yaitu industri makanan dan minuman, industri tekstil dan produk tekstil, industri otomotif, industri elektronik, dan industri kimia. Kelima sektor tersebut dikedepankan karena sektor-sektor itulah yang dapat meningkatkan pemasukan negara untuk produk domestik bruto[10]. Maka dari itu, masyarakat Indonesia butuh mencari-cari informasi terkini mengenai kelima sektor tersebut karena masyarakat Indonesia-lah yang nantinya menjadi pelaku industri yang meliputi kelima sektor. Jika masyarakat mendalami dan mengetahui sektor-sektor penting ini, bukankah masyarakat bisa turut andil demi kesejahteraan negara pada Industri 4.0?
  • Menjaga kelestarian lingkungan dan alam
Walaupun zaman sudah lebih canggih, alam masih membutuhkan perhatian dari makhluk-makhluk hidup. Reduksi emisi karbon, pemakaian energi terbarukan, pembuangan sampah dan limbah, deforestasi, serta bencana alam adalah isu-isu lingkungan hidup yang disorot terutama di Indonesia[11]. Di era sekarang, untuk mengomersialkan sumber energi terbarukan yang dapat menggantikan energi fosil dijadikan urgensi. Dengan adanya IoT dan IoS, tidakkah informasi untuk melacak sumber energi terbarukan akan selalu tersedia? Selain itu, kecanggihan teknologi informasi diharapkan dapat mengatasi permasalahan alam dan lingkungan lainnya.
Revolusi industri ada antara untuk membantu manusia beradaptasi dengan lingkungannya dan untuk mengubah lingkungan agar manusia bisa hidup di lingkungan tersebut. Industri 4.0 seharusnya membantu menjaga kelestarian alam dan lingkungan. Di sinilah tugas manusia untuk tetap mengembangkan perindustrian tanpa merusak lingkungan dan alam. Manusia hidup dari alam, oleh alam, dan untuk alam serta merupakan bagian dari alam itu sendiri.
  • Lebih memanusiakan manusia
Manusia, sebagai makhluk yang berpikir, adalah alasan mengapa revolusi industri ada, yaitu untuk memudahkan kehidupan manusia. Tenaga manusia yang terbatas dalam menghasilkan produk dan jasa menjadi penyebab adanya alat-alat bantu, mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks, contohnya seperti robot canggih yang memiliki kecerdasannya sendiri untuk belajar. Tentunya, keberadaan AI (artificial intelligence) perlu diseimbangkan dengan penyosokan manusia sesungguhnya. Jika seluruh pekerjaan dilaksanakan oleh mesin-mesin, apa esensi manusia yang sebenarnya memulai revolusi industri itu sendiri? Ke mana para manusia? Bagaimana bila yang terjadi adalah kemunduran karena beberapa faktor pada masa revolusi industri keempat ini sebagai akibat dari tidak adanya manusia?
Sudah mulai muncul gambaran mengenai Industri 5.0, yaitu human-centered society atau Society 5.0. Industri 5.0 akan menghasilkan masyarakat yang lebih humanis dalam beraktivitas dan melakukan sesuatu yang melibatkan apa yang telah dibangun dalam Industri 4.0. Dengan kata lain, manusia dan alat-alat canggih yang dibuatnya akan bekerja sama[12]. Inovasi-inovasi mutakhir yang manusiawi dibutuhkan supaya dapat menjembatani Industri 4.0 dengan Industri 5.0. Sebagai head start, alangkah baiknya kita mulai menelusuri revolusi industri kelima dari sekarang dengan memanusiakan manusia. 

Penutup
Industri 4.0 berpotensi untuk membawa masyarakat Indonesia menuju arah yang lebih baik. Namun, perihal tersebut tidak menutup kemungkinan untuk segera mempersiapkan apa yang akan terjadi di masa mendatang setelah waktu revolusi industri ke-4. Masyarakat Indonesia perlu menerapkan budaya yang baik untuk menyesuaikan diri dengan keadaan pada masa Industri 4.0. Seperti kata pepatah, “Bisa karena biasa.” Hal-hal besar dimulai dari membiasakan hal-hal kecil. Ke depannya, Industri 4.0 dapat mengantar Indonesia ke dalam persaingan kelas dunia dengan ditopang oleh sumber daya manusianya yang berkualitas.

Referensi
[1] Prasetyo, H., & Sutopo, W. (2018). Industri 4.0: Telaah Klasifikasi Aspek dan Arah Perkembangan Riset. Jurnal Teknik Industri, 13(1), 17—26.
[2] McKinsey & Company. (2016). Industry 4.0 after the initial hype: Where manufacturers are finding value and how they can best capture it. [Online]. https://www.mckinsey.com/~/media/mckinsey/business%20functions/mckinsey%20digital/our%20insights/getting%20the%20most%20out%20of%20industry%204%200/mckinsey_industry_40_2016.ashx (diakses pada 15 April 2019 pukul 19.46 WIB)
[3] Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. (2019). Menilai Kemampuan Industri di Era Digital, Kemenperin Siap Luncurkan INDI 4.0. [Online]. http://www.kemenperin.go.id/artikel/20129/Menilai-Kemampuan-Industri-di-Era-Digital,-Kemenperin-Siap-Luncurkan-INDI-4.0 (diakses pada 14 April 2019 pukul 19.08 WIB)
[4] Susanto, E. A., Pertiwi, G., & Tjokro, H. (2018, Februari). Spring of Life: Millennials dan ‘Jaman Now’. Slice of Life from Eastspring Investments, 1—9.
[5] Hermawan, H., & Hendrastomo, G. (2017) Travelling Sebagai Gaya Hidup Mahasiswa Yogyakarta. Jurnal Sosiologi E-Societas, 6(2), 1—15.
[6] Afandi, M., Chamalah, E., & Wardani, O. P. (2013). Model dan Metode Pembelajaran di Sekolah. Semarang: UNISSULA Press.
[7] Manson, M. (2019). Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat. Jakarta: Penerbit Grasindo.
[8] Spadafora, A. (2019). Industry 4.0 suffering major security issues. [Online]. https://www.techradar.com/amp/news/industry-40-suffering-major-security-issues (diakses pada 5 April 2019 pukul 9.29 WIB)
[9] Sunblad, W. (2019). Security Is Key To The Success Of Industry 4.0. [Online]. https://www.forbes.com/sites/willemsundbladeurope/2019/04/11/security-is-key-to-the-success-of-industry-4-0/amp/ (diakses pada 5 April 2019 pukul 9.29 WIB)
[10] Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. (2019). Jadi Prioritas Indutri 4.0, Lima Sektor Ini Berkontribusi 60 Persen untuk PDB. [Online]. http://www.kemenperin.go.id/artikel/19231/Jadi-Prioritas-Indutri-4.0,-Lima-Sektor-Ini-Berkontribusi-60-Persen-untuk-PDB (diakses pada 15 April 2019 pukul 17.50 WIB)
[11] Guntoro, J. (2017). Masalah Lingkungan Hidup di Indonesia dan Dunia Saat Ini. [Online]. https://lingkunganhidup.co/masalah-lingkungan-hidup-di-indonesia-dan-dunia/ (diakses pada 15 April 2019 pukul 18.38 WIB) 
[12] Alim, M. (2019). 4 Prediksi Gambaran Revolusi Industri 5.0. [Online]. http://www.jurnas.com/artikel/47248/4-Prediksi-Gambaran-Revolusi-Industri-50/ (diakses pada 15 April 2019 pukul 20.30 WIB)

Senin, 01 Juli 2019

Membangun Kaderisasi yang Produktif

Bayangkan lingkungan tempat kita tinggal adalah sebuah kanvas. Kanvas tersebut mulai diisi oleh cat dengan bermacam-macam warna dan cat warna-warni ini adalah kita, para manusia. Dari cat warna-warni tersebut, terbentuklah lukisan di kanvas tersebut. Suatu lukisan bisa lebih indah karena warna cat yang beragam dan komposisinya yang sesuai. Selanjutnya, bagaimana "membingkai" lukisan agar tampak lebih "menjual"?
 
Kaderisasi diambil dari kata dalam bahasa Prancis, cadre, yang berarti bingkai atau kerangka. Kaderisasi memiliki kata dasar 'kader'. Kader berarti orang yang diharapkan akan memegang peran yang penting dalam pemerintahan, partai, dan sebagainya. Kualitas suatu lingkungan memang ditentukan dari kualitas orang-orangnya. Lingkungan bisa berkembang karena orang-orang di dalamnya turut berkembang. Namun, pernahkan terpikir bagaimana suatu lingkungan bisa berkembang jika orang-orangnya tidak peduli dengan lingkungannya sendiri? Kaderisasi ada untuk membantu orang-orangnya mengenal dan memahami lingkungannya sendiri. Orang-orang, manusia yang hidup di dalam lingkungannya, senantiasa membutuhkan tempat untuk berkembang karena memang begitulah kebutuhan seorang manusia. Jika manusia ingin berkembang di tempatnya, tentu manusia perlu mengenal dan memahami lingkungannya. Kaderisasi menjadi media interaksi antara manusia dan lingkungannya.

Manusia membutuhkan interaksi dengan segala hal yang ada di sekitarnya sebagai bentuk pemenuhan peran yang dijalani. Maka dari itu, kaderisasi merupakan proses humanisasi dengan pemenuhan nilai-nilai tertentu selama kaderisasi. Humanisme yang diterapkan dalam kaderisasi harus melibatkan rasa, karsa, cipta, dan karya (selanjutnya disingkat RKCK). Sebagaimana tujuan pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia, kaderisasi adalah bentuk pendidikan supaya dapat selaras dengan kodratnya, serasi dengan adat istiadat, dinamis, memperhatikan sejarah bangsa dan membuka diri pada pergaulan kebudayaan lain[1]. RKCK sendiri merupakan falsafah yang dicetuskan agar manusia dapat menyeimbangkan aspek-aspek yang dibutuhkan untuk mengembangkan potensi manusiawinya[2].

1. Rasa
Rasa, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bisa didefinisikan sebagai 1) tanggapan hati terhadap sesuatu dan 2) pendapat (pertimbangan) mengenai baik atau buruk, salah atau benar. Rasa dihubungkan dengan emosi, hati, nurani, kalbu, moral, dan olah rasa. Rasa merupakan sesuatu yang paling abstrak di antara komponen RKCK ini. Untuk menanggapi suatu keadaan di lingkungannya harus dimulai dengan banyak merasakan terlebih dahulu. Hal tersebutlah yang menjadi stimulasi perasaan akan hal yang terjadi secara nyata di sekitar. Pembentukan rasa meliputi tanggapan secara sensoris, fisik, emosional, dan kognitif.
Gambar 1
Struktur Rasa
(Sumber: Rahmawati, 2012)

Pada tingkat ini, kesadaran akan terbentuk, mulai dari kesadaran untuk diri sendiri hingga kesadaran akan lingkungannya.

2. Karsa
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karsa diartikan sebagai 1) daya (kekuatan) jiwa yang mendorong makhluk hidup untuk berkehendak dan 2) kehendak atau niat. Karsa dihubungkan dengan motivasi, kehendak, tekad, niat, semangat, dan kesungguhan. Setelah kesadaran terbentuk, individu dapat berkehendak sesuai dengan kesadaran yang dimilikinya. Pada tingkat ini, kesadaran akan ditanggapi hingga individu berkemauan untuk melakukan sesuatu secara nyata.

3. Cipta 
Cipta adalah kemampuan pikiran untuk mengadakan sesuatu yang baru. Cipta dihubungkan dengan pikiran, pengetahuan, wawasan, gagasan, ide, nalar, logika, rancangan, kreasi, inovasi, imajinasi, perenungan, dan inspirasi. Manusia sebagai makhluk yang berpikir mulai merancang hal-hal yang akan dilakukan untuk menanggapi suatu stimulus yang menghinggapinya. Perancangan ini akan melahirkan strategi, metode, target, dan sasaran mengenai suatu permasalahan yang akan dilakukan.
Gambar 2
Gambaran Cipta
(Sumber: Rahmawati, 2012)

4. Karya 
Karya bermakna pekerjaan; hasil perbuatan, buatan, atau ciptaan. Ketiga komponen sebelumnya, rasa, karsa, dan cipta, harus dituang agar menghasilkan sesuatu yang konkret. Seringnya, implementasi kaderisasi terhenti di ketiga komponen sebelumnya. Hal itulah yang menyebabkan kaderisasi seperti tidak menghasilkan apa-apa secara nyata. Pikiran (cipta) harus dibuat menjadi tindakan nyata (karya). Pikiran yang positif akan menghasilkan tindakan yang positif. Begitu juga dengan pikiran negatif yang akan menghasilkan tindakan negatif.

Tindakan yang dilakukan akan dijadikan sebuah karya yang betul-betul memberikan dampak. Karya yang dihasilkan tidak hanya harus indah dilihat, tetapi juga bermanfaat dan memberikan efek positif untuk sekitar. "Bagaimana cara membuat karya secara optimal?" Dengan memahami dan menikmati proses pembuatan karya tersebut, tidak hanya hasilnya saja.

Siapakah Pengader? Siapakah yang Dikader?
Ada pepatah Arab mengatakan, "Ishlah nafsaka wad'u ghairaka" yang berarti perbaiki diri sendiri sambil ajak orang lain (kepada kebaikan). Kata hubung 'sambil' menegaskan bahwa memperbaiki diri sendiri dan mengajak orang lain kepada kebaikan dilakukan secara bersamaan. Jadi, memperbaiki diri sendiri terlebih dahulu lalu mengajak orang lain tidak selalu benar. Tentu saja kaderisasi merupakan bentuk komunikasi dua arah. Kaderisasi adalah ejawantahan dari pepatah Arab tersebut. Selain itu, kaderisasi yang baik seharusnya mengajarkan kebaikan dan kebenaran dengan ketulusan, bukan ajang keren-kerenan "impresi".

Memang, tidak ada manusia yang sempurna, tetapi itulah esensi dari kaderisasi: belajar. Jangan sampai itu menghalangi dari mengerjakan dua hal yang menjadi kewajiban, yaitu 1) mengerjakan kebaikan dan meninggalkan kejahatan dan 2) mengajak orang lain dalam kebaikan dan mencegah orang lain berbuat kejahatan. Manusia yang tidak/belum bisa melakukan kedua kewajiban itu cukup dimulai dengan mengerjakan satu dari dua kewajiban tersebut, yakni mengajarkan kebenaran walaupun belum sanggup melakukannya sendiri. Itu lebih baik ketimbang diam saja dan tidak mengerjakan satupun dari keduanya sama sekali karena merasa belum sanggup melakukan. Itulah yang dimaksud dengan 'mengatakan apa yang dikerjakan'[3]

Tidak menutup kemungkinan bahwa setiap manusia bisa mengader dirinya sendiri. Membentuk manusia-manusia hanya akan berhasil jika manusia-manusia yang kita bentuk mau membentuk diri mereka sendiri juga. Tanpa ada pemaksaan.

Referensi:
[1] Dewantara, K. H. (1962). Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Percetakan Majelis Luhur Taman Siswa.
[2] Rachmawati, Y. (2012). Pendidikan Karakter Melalui Pengembangan Model Pembelajaran RKCK (Rasa Karsa Cipta Karya). Jurnal Pendidikan Anak, 1(1), 21—30.
[3] Q.S. Ash-Shaff [61]: 23.