Sabtu, 27 Agustus 2016

Mengapa Tidak Shalat (I)


Beberapa waktu yang lalu, saya menemukan video dari kanal TheMercifulServant yang berjudul "MUSLIMS WHO DO NOT PRAY - MUST WATCH". Setelah saya menonton, saya jadi mengerti apa saja penyebab muslim tidak shalat padahal shalat adalah kewajiban setiap muslim dan merupakan amal yang paling pertama dihitung.

Jika Anda ingin tahu, Anda bisa membuka video di atas. Namun, jika Anda tidak mau menontonnya, saya sudah (berusaha) menerjemahkan apa yang Nouman Ali Khan paparkan dalam video di atas.

Bismillāhi washshalātu wassalāmu `alā rasūlillāh.

Sebenarnya, ada dua pernyataan yang merupakan dua masalah yang berbeda. Masalah pertama adalah "Aku tidak bisa shalat lima kali dalam sehari. Aku tidak bisa melakukannya.". Sekarang, aku tidak percaya padamu. Siapapun yang berkata "aku tidak bisa melakukannya", aku tidak mempercayaimu. Kamu tahu mengapa? Karena aku mempercayai Allah. Dan, aku tidak bilang aku percaya pada Allah. Aku bilang, aku mempercayai Allah. Ada perbedaan, bukan? Aku percaya pada Allah berarti aku percaya bahwa Dia ada. Aku percaya pada-Nya. Namun, saat aku bilang aku mempercayai Allah, itu berarti aku percaya apa yang Dia katakan. Dia (subhānu wa ta-`ala) berkata, "Lā yukallifullāhu nafsan illā wus`a`hā (Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya)." Allah berkata bahwa Dia tidak membebani siapapun dengan banyak tanggung jawab kecuali mereka sanggup menangguhkan beban tersebut. Itu yang Dia katakan. Kamu bilang, kamu tidak bisa berbuat sesuai dengan sebuah tanggung jawab yang Allah berikan kepadamu. Tidakkah itu benar? Kamu berkata, "Aku tidak bisa shalat lima waktu. Itu terlalu banyak!" Lalu, Allah berkata, "Ya, kamu bisa!" Jadi, aku punya pilihan antara mempercayaimu dan mempercayai Allah. Jika kau tidak menyadari hal ini, mungkin kamu berbohong pada dirimu. Mungkin kamu meyakinkan dirimu karena kemalasanmu dan kurangnya keinginan untuk shalat lima kali (dalam sehari). Harus. Aku tidak mau menghakimimu. Aku tidak tahu apa masalahmu, tetapi mungkin kamu canggung untuk shalat di depan nonmuslim. Orang bisa merokok 15 menit saat istirahat kerja, benar? Mereka bisa istirahat, jalan-jalan sambil mengobrol, dll. sementara kamu tidak bisa shalat lima waktu. Subhanallah. Pada bagian di dunia ini, aku pernah bekerja di Kota New York. Aku pernah melihat muslim shalat di segala tempat. Di tengah 5th Avenue, di pinggir jalan, ada orang sedang shalat karena sudah waktunya. Atau, kamu tahu, di universitas, kamu pergi ke ruang fotokopi di dalam perpustakaan dan melihat tiga orang sedang shalat. Muslim akan shalat. Jika sudah waktunya, mereka akan melaksanakannya. Itu dia. Jadi, hal pertamanya adalah Allah berkata bahwa kamu bisa (shalat). Jadi, Allah memberikan beban ini kepadamu dan memang benar begitu adanya, maka kamu bisa. Yakinkanlah dirimu akan hal itu, berserah dirilah, dan Dia akan memudahkannya untukmu.

Pertanyaan kedua adalah "Apakah Dia peduli kalau aku shalat atau tidak?". Sekarang, pertanyaannya lebih seperti "Apakah Dia membutuhkan shalatku atau tidak?". Kamu lupa kalau shalatnya tersebut bukan untuk Allah. Itu untukmu. Itu bukan untuk Allah. Jika semua orang di dunia ini, jika semua yang mereka lakukan dengan hidup mereka adalah shalat (beribadah) kepada Allah, itu tidak akan membuat-Nya lebih kaya. Itu tidak akan menambah apa-apa ke kerajaan-Nya karena Dia telah memiliki semua kerajaan. Dan, jika tidak ada yang menyebut (asma) Allah subhānu wa ta`ala lagi, itu tidak mengurangi kekuasaan-Nya, kerajaan-Nya, dan kemuliaan-Nya. Dia (Allah) tidak membutuhkan kita. Kita membutuhkan-Nya. Kita membutuhkan-Nya. Jadi, pertanyaannya, apakah kita merasa butuh shalat? Apakah kita merasa bahwa itu adalah kebutuhan dalam hidup kita? Dan, jika tidak, jika kamu merasa terbebas dari meminta Allah akan bantuan-Nya, beralih, dan mendahului sebelum firman-Nya, itu adalah permasalahan serius. Kamu menjadi lemah dan pertanyaan muncul karena kami jauh dari Allah sekian lamanya sehingga syetan dapat datang dan berkata, "Ya, aku tahu, kamu merasa tidak enak tentang meninggalkan shalat. Sebaiknya, buang rasa tidak enak itu dan gantikan dengan mengapa kami bahkan harus shalat." Itu adalah gangguan selanjutnya dari penyakit itu. Di bagian pertama, kamu sudah terdiagnosis, tetapi kamu merasa tidak enak dan ada perasaan bersalah. Itu hadiah dari Allah. Namun, saat perasaan bersalah hilang, kamu berkata, "Ah, Allah tidak membutuhkan shalatku. Tidak apa." "Selama aku baik-baik saja" dan itu adalah bagian terakhir yang ingin kubicarakan. Bagian selama-aku-baik-baik-saja ini. Siapa yang mendefinisikan 'baik'? Ada dua macam 'baik' di dunia ini. Tolong ingat ini. Ada dua macam 'baik'. Ada 'baik' yang etis. "Aku baik ke tetangga. Aku jujur saat bekerja. Aku ramah pada orang-orang. Aku tidak mencuri. Aku tidak curang." Itu berkenaan dengan etika. Etika dasar, bukan? "Aku memberitahukan kebenaran. Aku jujur. Aku membayar pajak. Aku jujur dalam bisnis." Semua itu adalah kebenaran etis. Lalu, ada 'baik' yang agamis. "Aku pergi haji. Aku berzakat. Aku shalat lima waktu dalam sehari. Aku berpuasa di bulan Ramadhan." Semua itu bukan dalam etika tetapi dalam agama. Hal 'baik' yang etis dan hal 'baik' yang agamis, itu moral di alam. Yang banyak terjadi dengan muslim dan nonmuslim, terutama yang muslim, adalah terciptanya perbedaan di antara kedua hal itu. Jadi, di kalangan muslim, kamu akan menemukan orang-orang yang secara moral 'baik'. Mereka baik kepada keluarga. Mereka merawat anak-anak mereka. Mereka bertanggung jawab dalam rumah tangga. Mereka ramah kepada tetangga. Mereka jujur saat bekerja. Orang-orang baik. Akan tetapi, tanpa agama. "Aku tidak butuh agama untuk menjadi baik," begitu kata mereka. Dan, di sisi lain, kamu menemukan orang-orang yang shalat, pergi haji, berzakat, memelihara jenggot, berpakaian takwa, tetapi mereka buruk kepada keluarga, curang dalam bisnis, benar-benar imoral dan tidak etis. Jadi, yang terjadi adalah kita sudah memisahkan dua dimensi kebaikan. Kebaikan moral, kebaikan etis, dan kebaikan agamis. Yang Allah lakukan dalam Al-Qur'an adalah menyatukan keduanya dalam satu ayat ini, yaitu ayātul birr. Ayat kebaikan. Apa maksudnya menjadi baik? Kalau kamu mempelajari ayat itu, itu adalah kombinasi dari dua hal. Itu adalah kombinasi dari prinsip etis, seperti memenuhi janji, sabar, dan istikamah, dan juga kebaikan agamis, seperti mendirikan shalat dan memberi zakat, benar? Jadi, itu adalah kombinasi kedua hal tersebut dalam satu tempat. Jadi, jika kamu berpikir kamu berada di posisi untuk menentukan apa yang 'baik', sangat mungkin kamu berpegang kepada kebaikan moral dan merusak kebaikan agamis seperti ritual yang Allah ajarkan kepada kita. Namun, yang Allah mau adalah agar kita mempunyai keduanya dalam waktu yang sama. Inilah di mana seseorang betul-betul baik. Selainnya, kamu tidak amat baik. Kamu sudah mendefinisikan baik kepada dirimu dan menolak definisi Allah tentang itu. Namun, kita berpaling kepada Allah untuk petunjuk karena kita tidak bisa mendefinisikan sesuatu sendiri. Kita mau Dia mendefinisikannya untuk kita. In syā Allahu ta-`ala.

Sudah. Itu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar