Senin, 18 September 2023

Pulang (Sebuah Pemikiran Tentang Persahabatan)

Apa yang pertama terpikirkan saat mendengar kata rumah?

Menurut penulis sendiri, pada dasarnya, rumah didefinisikan sebagai tempat bernaung. Dalam bahasa Inggris, rumah dibedakan menjadi house dan home. Tabel ini menunjukkan definisi dari house[1] dan home[2] menurut Oxford Dictionary.

House (n)

Home (n)

1.      building made for people to live in, usually for one family (bangunan yang dibuat untuk orang-orang tinggal di dalamnya, biasanya untuk satu keluarga)

2.      people living in a house (orang-orang yang tinggal di dalam sebuah rumah)

3.      building made for a purpose that is mentioned (bangunan yang dibuat untuk tujuan yang disebutkan pada namanya)

4.      ...

5.      ...

6.      ...

7.      ...

8.      (usually the House of ...) old and famous family (biasanya menunjukkan nama keluarga [marga] bersejarah dan terkenal)

1.      place where you live, especially with your family (tempat tinggal, terutama bersama keluarga)

2.      place for the care of old people or children (tempat untuk merawat orang-orang tua atau anak-anak)

3.      place where an animal or plant lives naturally (tempat suatu binatang atau tanaman hidup secara alami)

4.      place in which something was first discovered, made or invented (tempat sesuatu pertama kali ditemukan, dibuat atau diciptakan)


Selain itu, bahasa Arab dari rumah pun dibagi menjadi bait ‘tempat bermalam’, dār ‘tempat beraktivitas’, maskan ‘tempat menetap dan tinggal dengan tenang’, dan manzil ‘tempat singgah’. Jika melihat definisi-definisi di atas, kita mendapatkan tempat bernaung untuk dua hal, yaitu hal materiel dan hal spiritual. House beserta bait dan dār bermakna ‘tempat bernaung untuk hal materiel’ dan home beserta maskan bermakna ‘tempat bernaung untuk hal spiritual’. Setiap rumah mesti disinggahi agar terasa fungsi naungannya. Itu berarti apa pun yang membuat kita merasa terlindungi bisa disebut rumah. Untuk perlindungan dari bahaya fisik, seperti panas matahari, badai, hujan, salju, atau bahkan makhluk hidup lain, kita bernaung di bangunan yang kita sebut rumah. Kemudian, bagaimana dengan perlindungan dari bahaya yang nirbentuk? Rumah tidak hanya harus sebuah bangunan, tetapi juga hal-hal lain yang bisa melindungi diri kita agar bisa disebut home.

Dunia ini memang penuh dengan mara bahaya yang bisa datang dari arah mana saja. Oleh karenanya, kita patut meminta perlindungan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Penolong. Allah menolong kita dengan banyak cara., tentu salah satunya adalah dengan memberikan kita rumah. Rumah yang diberikan dapat berupa tempat tinggal dan keberadaan orang-orang saleh di sekitar kita. Bukankah berkumpul bersama orang-orang saleh merupakan salah satu cara untuk mendapatkan ketenangan dan kedamaian spiritual (ingat lagu “Tombo Ati”[3] oleh Sunan Bonang)? Bersama dengan orang-orang saleh akan memberikan perlindungan dalam kehidupan kita yang penuh intrik dan konflik. Kita, sebagai manusia, merupakan makhluk sosial yang perlu melakukan interaksi dengan manusia lain. Tidak ada yang salah dengan menemukan rumah (home atau maskan) kala berinteraksi dengan manusia lain, terutama bila manusia itu adalah orang yang saleh dan orang yang saleh itu adalah sahabat kita.

Mengacu kamus lagi, definisi sahabat adalah teman yang akrab dengan kita[4]. Sudah sewajarnya kita merasa nyaman tinggal di rumah yang kita kenali dengan baik. Pasti membahagiakan untuk selalu bisa dekat dengan rumah dan punya tempat untuk kembali, tempat untuk pulang saat lelah beraktivitas. Coba bayangkan kalau kita tiba-tiba terdampar di lokasi asing dan tidak bisa pulang, pasti rasanya kacau dan tidak tenang. Maka dari itu, kita harus bersyukur kepada Allah karena kita diberikan sahabat sebagai tempat untuk pulang dan cara untuk bersyukur itu adalah dengan beribadah. Sebagai muslim, kita memiliki kewajiban beribadah kepada Allah dan kita butuh beribadah untuk memulihkan diri dari perihal terkait dunia. Apakah keberadaan sahabat yang saleh dapat membantu kita dalam beribadah? Jawabannya adalah iya. Kita tidak bisa sepenuhnya hidup sendirian dan terisolasi dari manusia lain. Manusia pasti pernah salah dan lupa, tetapi sebaik-baiknya manusia yang berbuat salah adalah yang bertobat[5]. Aliran filsafat Stoisisme mengemukakan manusia tidak akan bisa melawan hukum alam (fitrah) dan manusia perlu memfokuskan diri pada persaudaraan dan persahabatan manusia serta saling menolong dan mencintai sesama. Seneca (4 SM s.d. 65 M), seorang filsuf Stoisisme Yunani, mencetuskan bahwa manusia itu suci bagi manusia lain yang kemudian menjadi pokok dari hubungan yang humanistis[6]. Dalam perjalanan mencapai suatu tujuan (di sini, yang dimaksud adalah Tuhan yang disembah), manusia mendapatkan sesuatu dari manusia lain, manusia melepaskan sesuatu dari manusia lain, atau mungkin ada juga manusia yang menjadi manusia kembali karena manusia lain[7]. Jangankan filosofi dari para filsuf, penjelasan mengenai hubungan antarmanusia pun terdapat pada Al-Qur’an dan hadis. “Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” “Jika kalian berbuat baik kepada orang lain, sesungguhnya kalian berbuat baik untuk diri kalian sendiri.”[8] Itulah yang disebut rehumanisasi. Alangkah baiknya jika ada sahabat yang mengingatkan jika kita berbuat kesalahan dan membuat kita belajar darinya sehingga kita tidak mengulangi kesalahan yang sama. Begitu juga sebaliknya ketika sahabat kita yang melakukan kesalahan. Kita bisa menolong sahabat kita dan saling berbagi ilmu dengannya. Memiliki sahabat yang saleh memperbesar peluang kita untuk selalu mengingat Allah dan melaksanakan kebaikan sesuai perintah-Nya.
 
Para teladan kita pun memiliki sahabat di sisi mereka saat mereka menyiarkan ajaran Islam. Kita tentu mengetahui kisah Rasulullah dan para sahabatnya yang saling membantu dan mengayomi dalam ketaatan kepada Allah. Kita juga mengetahui kisah persahabatan kedua saudara, Musa dan Harun. Musa yang berwatak keras, tegas, dan terus terang mengimbangi Harun yang patuh, sabar, dan lemah lembut[9] serta Harun yang lebih pandai berbicara dapat memberi sokongan untuk Musa[10]. Musa dan Harun saling melengkapi satu sama lain selama mereka menyerukan firman Allah kepada kaum Bani Israil. Kelemahan yang satu ditutupi oleh orang yang lain, begitu pula kelebihan yang satu semakin diperkuat oleh orang yang lain. Ada juga kisah persahabatan Imam Syafi’i dan Sayyidah Nafisah, seorang murid laki-laki dan seorang guru perempuan[11]. Tiap individu merupakan orang yang sama-sama brilian, tetapi bersama, mereka berdua dapat menelurkan gagasan-gagasan intelektual demi kemaslahatan umat. Persahabatan mereka bisa menjadi contoh jika kita memiliki sahabat dari lawan jenis. Dengan siapa pun itu, hubungan persahabatan seharusnya mampu menghadirkan kebermanfaatan dan bukan kebalikannya.

Memang, dalam bersahabat, kualitas lebih diutamakan daripada kuantitas. Maka dari itu, memilih dan memilah sahabat adalah sesuatu yang perlu dilakukan dengan kehati-hatian. Meskipun begitu, kita tidak dilarang untuk bersahabat dengan banyak orang dari berbagai latar belakang supaya kita membiasakan diri untuk berempati dan mengenal beragam manusia yang ada di muka bumi ini[12]. Tidak ada salahnya memiliki lebih dari satu sahabat. Tidak ada salahnya memiliki banyak rumah. Harapannya, kesalehan sahabat-sahabat kita sebagai rumah untuk kembali yang kita punya di dunia berbanding lurus dengan kadar keimanan dan ketakwaan kita terhadap Allah.

Seperti yang kita tahu, dunia adalah tempat menanam dan akhirat adalah tempat memanen. Pastikan kita mendapatkan hasil panen yang terbaik. Bersahabat dengan orang-orang saleh bisa menjadi ladang amal besar yang dapat membantu kehidupan kita kelak, baik di dunia maupun di akhirat. Sahabat-sahabat saleh mampu menopang hidup kita, para manusia, layaknya rumah yang dibangun di fondasi yang kokoh. Dunia hanya tempat singgah (manzil), maka kita harus memanfaatkan waktu yang ada saat singgah dengan baik. Bersyukurlah kepada Allah dan hargai keberadaan sahabat kita selama di dunia hingga waktunya kita “pulang” nanti.

Seluruh sungai akan bermuara dan mengalir menuju samudra. Kita semua akan kembali ke rumah asli kita, ke hadapan-Nya, ke akhirat. Sahabat sejati akan membantu kita dalam berbuat kebajikan dan memedulikan akhirat kita. Semoga kita bisa tinggal bersama sahabat di surga (janah) nanti. Amin.

Referensi:
[1] Oxford University Press. (2008). House. In Oxford Learner’s Pocket Dictionary (4th ed., p. 215).
[2] Oxford University Press. (2008). Home. In Oxford Learner’s Pocket Dictionary (4th ed., p. 212).
[3] Ibrahim, R. M. M. (2005). Tombo Ati [Recorded by Opick]. On Istighfar [MP3 File]. Jakarta: Aquarius Musikindo.
[4] Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2005). Teman. In Kamus Besar Bahasa Indonesia (3rd ed., p. 1164). Balai Pustaka.
[5] HR. At-Tirmidzi no. 2499, Hasan.
[6] Gaarder, J. (2014). Dunia Sophie. Bandung: Penerbit Mizan. Hlm. 152—153.
[7] Dhirgantoro, D. (2007). 5 cm. Jakarta: Penerbit PT Grasindo. Hlm. 105.
[8] Baraba, F. H. (n.d.) Pribadi Yang Bermanfaat. [Online]. Diakses dari https://muslimah.or.id/6435-pribadi-yang-bermanfaat.html pada 17 Februari 2021.
[9] Kurniawan, D. C., Nababan, M. R., & Santosa, R. (2018). Karakter Persona Dalam Surah Ta-Ha Tentang Kisah Nabi Musa As Melalui Pendekatan Endofora. KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya (e-Journal), 4(2), 214—216.
[10] Al-Qur’an 28:34.
[11] Hosen, N., & Hammado, N. (2013). Ashabul Kahfi Melek 3 Abad. Jakarta: Penerbit Noura Books (PT Mizan Publika). Hlm. 100—104.
[12] Al-Qur’an 49:13.
 
(Unduh fail PDF-nya di sini.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar