Kamis, 25 Juni 2020

Kaderisasi dan Revolusi Industri, Adakah Hubungannya?

Gambar 1
Sumber gambar: pixabay.com

Demi keberlangsungan hidup umat manusia, manusia selalu mencoba untuk menemukan inovasi-inovasi terbaru agar waktu 24 jam yang diberikan dalam sehari tidak terbuang percuma. Manusia selalu mengharapkan kemudahan, itu tidak salah. Kesulitan yang dihadapi bisa dianggap sebuah masalah. Pada dasarnya, manusia memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan ingin memecahkan masalah. Karena rasa ingin tahunya, manusia pun bertanya, membaca buku, mengamati, dan meneliti untuk memecahkan masalah. Manusia ingin memecahkan masalah dengan cara yang bisa dia lakukan, entah secara dogmatis (menerapkan ajaran secara mutlak), tradisional (memecahkan masalah melalui kebiasaan), intuitif (memecahkan masalah dengan spontanitas), emosional (memecahkan masalah berdasarkan gejolak perasaan), spekulatif (memecahkan masalah dengan mencoba-coba atau dengan trial and error), atau saintifik/ilmiah (memecahkan masalah melalui kajian dan penelitian). Sebenarnya, tidak ada satu cara yang lebih baik daripada cara lainnya. Justru, setiap cara bisa jadi saling terhubung satu sama lain dengan cara-cara lainnya.

Dengan beragam cara untuk memecahkan masalah, manusia dididik agar melampaui keterbatasan-keterbatasannya. Adanya industri merupakan bukti bahwa manusia bisa melakukan pemecahan masalah yang ada dalam kehidupan sehari-harinya. Dengan industri, manusia memproses atau mengolah bahan mentah menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat untuk membantu manusia-manusia itu sendiri. Seperti manusia, industri pun turut berkembang selayaknya waktu yang terus berjalan.

Iringan Industry 4.0 dan Society 5.0
Tengoklah ke Jepang di Asia Timur sana. Di Jepang sedang direncanakan revolusi industri kelima atau yang bakal dinamai Society 5.0. Sesuai dengan namanya, Society 5.0 mengedepankan revolusi industri yang bersinergi dengan pola bermasyarakat yang berangsur-angsur berevolusi. Society 5.0 merupakan implementasi pemanfaatan teknologi data dan informasi dari Industry 4.0 untuk menghubungkan industri dan budaya manusia yang beragam, untuk mengelevasi inovasi multi-sektoral, dan untuk membangun simbiosis lingkungan manusia dan alam yang efisien[1]. Pola kehidupan masyarakat modern memerlukan penyesuaian revolusi industri yang humanis. Harapannya, Society 5.0 akan memenuhi segala kebutuhan manusia, individu atau kelompok, seperti kesehatan, mobilitas, infrastruktur, dan teknlogi finansial (fintech) dengan inovasi-inovasi manusiawinya[2].
Gambar 2
Perkembangan kemasyarakatan diiringi dengan perkembangan manusianya dalam revolusi industri
Sumber gambar: www.japan.go.jp

Penggunaan teknologi seperti IoT (internet of things), robot, kecerdasan buatan, dan big data akan membantu keputusan pemecahan masalah sosial yang terjadi[3]. Hal tersebut perlu dibarengi dengan peningkatan kemampuan manusia untuk memanfaatkannya. Itu pun perlu dilakukan dari metode penyesuaian, dimulai dari yang sesederhana mungkin. Kejauhan? Saya rasa tidak. Untuk mengembangkan suatu masyarakat dimulai dari tiap individu masing-masing terlebih dahulu. Setiap manusia harus sadar secara hayati dan mengenal potensi diri kemudian memberikan kontribusi demi pengembangan masyarakat. Kita ambil contoh, Jepang maju karena orang-orangnya berpikiran ke depan dan telah mempersiapkan manusia-manusianya untuk melanjutkan apa yang sudah dibuat oleh orang-orang terdahulunya demi masa depan. Masa depan mutakhir sebenarnya sudah ada dalam diri masing-masing.

Pengembangan Sumber Daya Manusia yang Tidak "Merobot"
Manusia menjadi entitas yang mendorong adanya revolusi industri. Robot dan teknologi-teknologi lainnya dibuat oleh manusia. Teknlogi dibuat oleh manusia untuk beradaptasi dengan lingkungan atau diciptakan oleh manusia untuk mengubah lingkungan agar sesuai dengan kehidupan manusia. Kemudian, manusia belajar mengorganisasi industrinya untuk mempertahankan produksi teknologinya. Kumpulan-kumpulan manusia melakukan penelitian dan pengembangan demi melahirkan inovasi. Tujuan dari semua itu adalah untuk bertahan hidup. Tentu saja subjek dari otomatisasi dan penyebarluasan informasi adalah manusia.
Gambar 3
Sumber gambar: pixabay.com

Manusia punya otak. Otaklah yang akan memproses apa yang akan kita rasakan. Robot juga bisa punya otak buatan. Namun, algoritma robot tidak (langsung) bisa membentuk atau membuat pilihan hidup yang melibatkan banyak pihak. Itulah mengapa kaderisasi seharusnya membuat manusia bisa memilih. Manusia selalu punya pilihan. Hidup adalah pilihan, bukan?

Menurut Savitri (2019), berikut adalah pekerjaan-pekerjaan yang bisa dan tidak bisa dilakukan oleh AI
Bisa:
• Resepsionis
• Pekerja pabrik
• Kurir
• Supir taksi dan bus
• Prajurit
• Dokter
• Petugas keamanan
• Manajer penjualan
• Akuntan
• Petani
Tidak bisa:
• Pengembang perangkat lunak
• Penulis
• Manajer SDM
• Desain grafis
• EO
• Pengacara
• Pemimpin agama
• Koreografer
• Pekerja sosial
• Psikiater[4]
Yang tentunya kesemua itu bergantung kepada pilihan manusia untuk menjadi bermanfaat di bidang yang ditekuninya.

Kaderisasi dibutuhkan dalam menghadapi revolusi industri yang terus berjalan. Tentunya, kaderisasi yang dilakukan harus relevan dengan keadaan yang terjadi sekarang. Jika kehidupan semakin berkembang, manusia yang menjalani hidup pun butuh berprogres. Mulailah dari kehidupan sehari-hari dalam lingkungan terdekat, seperti keluarga, sekolah, atau pertemanan, di masa disrupsi saat ini.

Referensi:
[3] Lindsay, S., & Martin, B. (2018). European Trends in Standardization for Smart Cities and Society 5.0. NEC Technical Journal, 13(1), 58—63.
[4] Savitri, A. (2019). Revolusi Industri 4.0: Mengubah Tantangan Menjadi Peluang di Era Disrupsi 4.0. Yogyakarta: Penerbit Genesis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar