Sabtu, 04 Juni 2022

Ode untuk Seorang Putra

Leaves from the vine
Falling so slow
Like fragile tiny shells
Drifting in the foam
Little soldier boy
Come marching home
Brave soldier boy
Comes marching home

Terlepas dari konflik di beberapa titik, kita hidup di masa yang relatif stabil, tidak dalam keadaan berperang. Namun, apakah kita akan bisa terhindar dari yang namanya kehilangan? Tidak, tidak ada yang abadi. Mortalitas akan menjemput kita; setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Orang-orang yang dekat dengan kita akan menjauh dan meninggalkan kita.

Aku membuka tulisan ini dengan lirik lagu Leaves from the Vine yang ada di kartun Avatar: The Last Airbender untuk menggambarkan kesedihan orang tua yang kehilangan anaknya, baik saat perang maupun saat damai. Pasti kita pernah dengar kalimat yang mirip-mirip sebagai berikut: "Istri yang ditinggalkan suaminya disebut janda. Suami yang ditinggalkan istrinya disebut duda. Anak yang ditinggalkan orang tuanya disebut yatim dan/atau piatu. Namun, tidak ada sebutan untuk orang tua yang ditinggalkan anaknya karena rasanya sulit dideskripsikan." Ya, karena sesedih itu. Dalam konteks peperangan, aku mengambil kata-kata Heredotus:

In peace, children bury their parents. In war, parents bury their children (because war violates the order of nature).
Bagi orang tua, anak adalah anugerah dari Tuhan. Pembawa rezeki, berkah, apa pun itu. Sayangnya, anugerah itu hanya titipan yang bersifat sementara. Anak akan tumbuh dewasa, memiliki kehendaknya sendiri, dan menjadi manusia seutuhnya. Selain itu, sebagai manusia yang hidup, ada akhir dari kehidupannya. Kembali ke konteks peperangan, ada saat di mana seorang anak mengikuti wajib militer dan mendaftar menjadi tentara dengan risiko nyawa yang amat tinggi. Kalau pun kondisinya damai, terdapat penyakit yang mampu menjangkiti orang-orang yang masih muda atau insiden-insiden tak terduga yang dapat menimpa seorang anak. Dengan begitu, anak bisa meninggalkan orang tuanya lebih dahulu.

Satu hal yang pasti: mereka tidak meninggal secara sia-sia.

Mereka yang berjuang membela negaranya. Mereka yang melakukan perjalanan demi kebaikan. Mereka yang beribadah. Jika mereka kembali ke Yang Maha Berkuasa dalam keadaan yang baik, mereka akan diberikan tempat yang baik pula di akhirat. Bahkan mereka dinyatakan syahid dalam hadis riwayat Abu Daud (nomor 3111) ini:

Orang-orang yang mati syahid yang selain terbunuh di jalan Allah ‘azza wa jalla itu ada tujuh orang, yaitu korban wabah adalah syahid; mati tenggelam (ketika melakukan safar dalam rangka ketaatan) adalah syahid; yang punya luka pada lambung lalu mati, matinya adalah syahid; mati karena penyakit perut adalah syahid; korban kebakaran adalah syahid; yang mati tertimpa reruntuhan adalah syahid; dan seorang wanita yang meninggal karena melahirkan (dalam keadaan nifas atau dalam keadaan bayi masih dalam perutnya) adalah syahid.

Untuk yang merasakan kehilangan, Tuhan pun sudah menjanjikan pengampunan dan ketenangan hati. Setiap kali kehilangan, akan ada sesuatu yang bisa menggantikan hal yang hilang itu, entah materi fisik atau hal abstrak seperti ide, kesehatan, atau sekadar hari-hari baru untuk dijalani. Tentu siapa pun yang menerima hal baru tersebut harus sudah ikhlas terlebih dahulu, bahwasannya Tuhan menyayangi hamba-Nya yang Dia ambil lebih daripada yang merasa kehilangan, kita manusia terbatas.

*

Saat ini, aku merasa seperti kehilangan seorang adik. I feel like I just lost a younger brother. Meskipun tidak sedarah, ada sesuatu yang lenyap dari diriku seolah benar-benar aku yang ditinggalkan. Mungkin karena ia merupakan bagian keluarga dari pemimpin daerah tempat aku tinggal, yang mengeklaim sebagai orang yang menyebarkan kebahagiaan pada tulisan bio media sosialnya (dan memang benar adanya beliau sosok yang seperti itu), sehingga beritanya begitu viral. Akan tetapi, kita semua yang manusia, kita mengetahui bahwa penyebar kebahagiaan pun bisa dan tengah berduka, dan kita turut memiliki perasaan kehilangan dan ditinggalkan itu. Beliau kehilangan putranya yang merupakan adik tingkat satu tahun di bawahku. Coba bayangkan kalau itu adalah anggota keluarga kita. Berapa kali lipat kesedihan kita? Pihak keluarga telah mengikhlaskan dan sudah ada imbauan melakukan salat ghaib, yang di situlah puncak kesedihanku beberapa hari ini. Sang putra tidak akan kembali.

Sayang sekali aku dan sang putra belum kenal dekat dan berinteraksi. (Waktu zaman diklat divisi keamanan OSKM ITB 2018, aku menghabiskannya di osjur himpunan di Jatinangor.) Sebagai orang yang senang mengobrol, aku rasa, mungkin di lain waktu dan kehidupan, ada suatu kesempatan agar kita berbincang.

Aku nyatakan tulisan ini sebagai "ode" karena meskipun berakhir penuh dengan laranya hati, sang putra tetap menang terhadap dunia ini. Aku perhatikan, banyak sekali yang merasa kehilangan sehingga aku meyakini sang putra memang orang baik yang telah memenangkan hati banyak orang. Kini, kita hanya bisa berdoa supaya ia juga menang di alam lain sana.

Semoga ia beristirahat dengan tenang dan diberikan tempat terbaik di sisi-Nya serta orang-orang yang ditinggalkannya diberikan ketabahan.

Termasuk diriku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar