Jumat, 10 September 2021

(Dibuat pada tanggal 2 September 2021)

"Prita, tolong bawa berkas yang kemarin ke kantor, ya. Saya mau koreksi dulu. Ditunggu sampai waktu jam makan siang."
 
Begitu kata suara bosku yang menelepon pukul 8 pagi tadi. Aku membelalakkan mata. Hah? Jadinya hari ini? Berkas yang dimaksud adalah berkas kontrak dengan seorang klien investor yang akan meneken kontraknya minggu depan (kami sudah janjian). Oh, iya, "kemarin" yang dimaksud adalah selumbari, Senin. Hari ini hari Rabu. Jadwalku masuk kantor adalah hari Senin dan Kamis, sisanya WFH. Senin lalu, bosku bilang untuk menyelesaikan dan bawa berkasnya waktu aku masuk lagi ke kantor, yaitu besok. Mengapa jadi harus hari ini?
 
Untunglah aku biasa bangun pagi dan sebenarnya, berkasnya sudah tinggal tahap koreksi sedikit-sedikit. Aku pun segera membuka laptopku dan mulai mengerjakan berkasnya. Aku hanya butuh sekitar 1 jam untuk menyelesaikannya. Setelah selesai, aku segera mandi dan berpakaian untuk ke kantor.
 
Pukul 9 pagi. Aku sebenarnya sudah sarapan, tetapi aku sangat mudah untuk merasa lapar lagi. Maka, aku selalu mampir ke kedai kopi untuk membeli sesuatu yang bisa dijadikan santapan brunch. Saat aku masuk, owh, yang sedang mengantre cukup banyak. Antrean yang berjarak pun menambah kesan "berjibun" dalam kedai kopi. Sekali lagi, untunglah orang-orang yang memesan tidak bisa mengonsumsi pesanannya di kedai, harus dibungkus, jadi kedai tidak perlu penuh sesak dan seharusnya itu mempercepat antrean berkurang.
 
Akhirnya, aku mendapatkan pesananku setelah 30 menit mengantre. Aku segera keluar kedai. Aku menyimpan pesananku, pai labu manis ukuran sedang dan kopi mochaccino di tempat tertentu di dashboard mobil. Aku menyalakan mobil dan kembali melaju.
 
Sampai akhirnya, di suatu titik menuju persimpangan jalan yang cukup besar, banyak kendaraan yang tidak bergerak di depanku. Macet. Aku terkejut melihat kemacetan ini. Lantas aku berhentikan mobilku. Ada seorang pedagang asongan lewat samping mobilku. "Ada apa ini?" tanyaku.
 
"Ada kecelakaan di perempatan gara-gara kabel lampu lalu lintasnya putus," jelas bapak pedagang asongan. "Lagi ditangani polisi dan petugas jalanan buat betulin lampu lalu lintas dan kondisi jalan."
 
Aku berterima kasih kepada bapak pedagang asongan dan menaikkan kaca jendela mobilku. Kecelakaan? Aku mengutak-atik aplikasi peta di gawaiku, tetapi seluruh alternatif jalan pun berwarna merah, menunjukkan penuhnya jalan tersebut. Aku menghela napas. Aku rasa, aku akan terjebak di sini hingga masalah kecelakaan teratasi. Jalan yang biasa aku lalui ini adalah jalur tercepat.
 
Tiiiin! Tiiiin!
 
Astaga! Aku rasa, aku tertidur sambil mengantukkan kepalaku di setir mobil hingga akhirnya klakson mobilku berbunyi. Aku melihat jam. Pukul 10.45. Waktu berlalu cepat sekali, ya, kalau ketiduran? Aku agak panik karena sebentar lagi pukul 11 dan aku belum sampai kantor. Untuk menenangkan diri, aku memakan seluruh paiku dan minum mochaccino yang kubeli tadi.
 
Tiiiin! Tiiiin!
 
Kali ini, suara klaksonnya dari mobil lain. Kendaraan sudah mulai berjalan lagi, pertanda masalah kecelakaannya sudah beres dan lalu lintas lancar lagi. Aku segera membersihkan kedua tanganku dan kembali menyetir (lagi-lagi, untunglah, aku sudah menyalakan mesin mobil agar panas kembali sembari makan). Aku membawa mobilku dengan agak mengebut ke kantorku supaya cepat sampai. Pukul 11.15, aku melesat masuk ke dalam gedung kantor, menaiki lift, dan berjalan cepat ke ruangan bosku.
 
Namun, nihil.
 
Aku mendekati meja kerja bosku. Bosku biasanya meletakkan laptopnya di atas meja, tetapi tidak ada apa-apa di mejanya. Tas laptopnya bahkan tidak terlihat di mana pun. Aku keluar ruangan bos diiringi tatapan bingung teman-teman karyawanku yang sedang masuk kantor. Mungkin mereka bingung mengapa aku ada di kantor hari ini. Aku pergi ke tempat resepsionis dan bertanya soal bosku.
 
"Pak Ardhi? Wah, saya tidak lihat. Para manajer yang masuk dan keluar harus absen di sini," kata mbak resepsionis sambil menunjuk mesin absen khusus para bos atau atasan lainnya yang ada di mejanya.
 
Aku kebingungan. Setelah mengucapkan terima kasih, aku mencari tempat untuk menelepon bosku. Akan tetapi, nomor yang kutuju selalu tidak dapat kuhubungi berkali-kali. Aku mencoba menghubungi lewat aplikasi chatting, tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa pesanku dibaca. Akhirnya, aku pun pulang ke rumah setelah membeli frappuccino untuk menghibur diriku.
 
Keesokan harinya, aku datang pagi-pagi ke kantor. Aku menunggu bosku datang untuk memberitahukan semuanya. Bosku juga biasa datang pagi. Pak Ardhi cukup senang aku menyelesaikan tugasku dengan baik, tetapi beliau pun terheran-heran mendengar ceritaku.
 
"Menelepon kemarin pagi? Saya tidak menelepon Anda, Prita."
 
Aku, yang tidak percaya, mengambil gawaiku dan hendak menunjukkan history telepon kemarin ... tetapi tidak ada.
 
History telepon pukul 7 hari Rabu kemarin tidak ada, tidak tercatat. Akan tetapi, aku benar-benar yakin aku ditelepon oleh nomor Pak Ardhi kemarin. Aku pun mengecek Whatsapp karena aku ingat aku juga mengirim pesan kemarin. Ternyata, pesanku yang kukirim juga tidak ada, hilang begitu saja. Lagipula, kalau aku menghapus pesan Whatsapp yang telah kukirimkan, pasti masih ada balon katanya dengan keterangan tertentu, bukan?
 
Setelah aku menjelaskan semuanya, Pak Ardhi berkata, "Mungkin Anda sedang gelisah karena klien kita, investor yang bekerja sama dengan kita itu, adalah orang yang penting. Anda jadi ingin menyelesaikan semuanya dengan cepat. Ya, saya lihat itu benar. Hasil kerja Anda juga sangat bagus. Tapi, ingat, Anda tidak boleh sampai stres saat kerja, terutama di masa pandemi ini. Selain itu, saya rasa, Anda harus mengurangi konsumsi kafein, Prita, supaya tidak kebingungan."
 
Pak Ardhi memang tahu kegemaranku meminum kopi. Pak Ardhi menerima hasil kerjaku untuk dikoreksi lebih lanjut dan memintaku untuk kembali ke tempat kerjaku. Aku berterima kasih kepada Pak Ardhi dan pamit undur diri. Di meja kerjaku, aku masih terheran-heran. Apa sebenarnya yang terjadi kemarin? Apakah aku salah?
 
Aku menggelengkan kepalaku. Kehidupanku harus tetap berlanjut. Yah, yang kemarin itu sudah berlalu. Sekalipun itu ternyata hanya mimpi. Meskipun begitu, selagi melanjutkan pekerjaanku, aku pun bertanya-tanya. Apakah yang kemarin itu hanya mimpi? Atau bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar