Jumat, 01 April 2022

Semesta dan Kodenya

Tulisan ini mungkin adalah tulisan paling "bucin" yang pernah kutulis.
 
Aku membaca dua tulisan yang dibuat oleh dua orang yang berbeda, tetapi inti dari tulisannya nyaris sama. Masing-masing tulisan dibuat di platform yang berbeda dan pada waktu yang berbeda pula. Yang menjadi kebetulan yang paling menarik ialah kedua orang tersebut merupakan dua orang pria yang sama-sama kukagumi. Aku memikirkan bagaimana bisa dua orang yang berbeda memikirkan hal yang serupa. Mungkin mereka pernah merasakan nasib yang mirip, sedang menapaki jalan yang serupa, atau memiliki prinsip yang sama, jadi secara langsung atau tidak langsung, mereka berhubungan. Entah mengapa, pasti ada alasannya. Akan tetapi, bukan itu yang mau aku bahas.
 
Mereka membicarakan tentang simbol atau tanda dan makna yang mengisyaratkan sebuah probabilitas. Lalu, muncullah pertanyaan. Apakah simbol atau tanda dibuat terlebih dahulu baru diberikan maknanya atau simbol/tanda dibuat bersamaan dengan maknanya? Karena aku bukan ahli semiologi, aku pun penasaran. Memangnya, mana yang duluan? Atau apakah itu penting? Masalahnya, banyak hal di sekitar kita yang bisa menjadi simbol atau tanda. Sebut saja lebah atau tawon yang berwarna kuning-hitam. Warna kuning dan hitam pada lebah atau tawon seolah menyerukan "Aku berbahaya! Jangan dekat-dekat aku!" karena mereka memiliki sengat di pantat mereka yang dapat menyakiti siapa pun. Ada juga jajaran bintang di langit yang seringkali dijadikan petunjuk bagi orang-orang di bumi ke mana arah yang dapat mengantar ke tempat mereka hendak pergi atau kapan mereka akan bertani.
 
Pernah terdapat perdebatan di kalangan pakar bahasa dan sastra Indonesia. Ada yang bilang bahwa kata-kata itu netral yang selanjutnya manusia menafsirkan kata-kata itu sehingga kata-kata memiliki maknanya sendiri yang dapat memihak secara subjektif. Pendapat yang lain mengatakan bahwa kata-kata itu tidak netral dan tidak lahir dari kehampaan, pasti ada latar belakang sosial, budaya, politik, ideologi, dan bahkan ekonomi, yang dipakai manusia untuk hal-hal yang sama sekali tidak netral juga. Saat ini, tidak penting aku lebih setuju argumen yang mana. Yang pasti, di sini ditunjukkan bahwa kata-kata yang kita tulis dan baca di mana-mana pun mengandung simbol atau tanda yang pasti mengandung makna. Makanya, ada yang namanya makna denotatif (tersurat) dan makna konotatif (tersirat). Maknanya pasti ada di tiap rangkaian huruf, frasa, dan kemudian kalimat, entah terpampang jelas atau tersembunyi, langsung atau tidak langsung.
 
Semesta kita penuh misteri dan kode-kodenya yang semua itu meminta untuk dipecahkan dan dipahami, seperti benang kusut yang harus diurai agar lurus kembali. Kita ditantang untuk mengurai semua itu tanpa menghancurkan seluruh materi yang telah ada, seperti menggunting benangnya. Benangnya bisa jadi lurus lagi, tetapi menjadi tidak utuh karena terpotong. Di sinilah kita belajar untuk tidak mengartikan sesuatu di luar hakikatnya. Bintang-bintang di langit, yang merupakan massa berupa sebagian besar hidrogen dan helium, bisa menunjukkan arah tempat dan waktu dalam setahun, tetapi ia tidak bisa meramalkan masa depan, bagaimana nasib hidup dan siapa jodoh seseorang. (Inilah mengapa kita tidak bisa percaya ramalan bintang alias horoskop: karena itu tidak masuk akal.) Sudah ada ilmu pasti yang membuktikan bahwa bintang-bintang bisa menunjukkan arah dan waktu, kita tinggal menginterpretasikannya, bila perlu dengan perhitungan dan statistika. Tuhan menciptakan semesta juga beserta maknanya bagi manusia. Tuhan ingin manusia belajar dan mengerti. Intinya, hidup kita penuh dengan tanda-tanda yang perlu kita cari maknanya, baik secara kumulatif maupun secara insidental.
 
Ya, segala sesuatu pasti ada maknanya. Termasuk tulisan yang kubuat ini. Apakah makna dari aku membuat tulisan ini adalah untuk menjawab rasa penasaranku lalu aku mencoba menjelaskannya? Apakah maknanya untuk memikat pria-pria yang kusuka? Tenang saja, aku punya interpretasiku sendiri. Interpretasiku mungkin berbeda dengan interpretasi kalian. Jujur, aku tidak suka kalau semua hal dibuat 100% pasti, aku lebih suka menemukan kemungkinan di mana aku bisa bermain dengan situasi agar mencapai tujuan yang kumaksud.
 
Yang pasti di dunia ini adalah ketidakpastian. Tidak ada yang sempurna, tetapi selalu ada alternatif yang lebih baik. Ketidaksempurnaan yang pada akhirnya mengarah ke keteraturan. Bukankah semesta begitu?