Jumat, 08 Mei 2020

Lompatan Keyakinan

Ada hal yang tidak ingin aku lupakan, yaitu perasaan yang kubutuhkan. Hanya saja, aku tidak yakin apakah itu perasaan aman atau nyaman. Apakah 'aman' berarti 'nyaman'? Apakah 'nyaman' berarti 'aman'? Eh, ternyata, aku bisa jadi tidak membutuhkan keduanya atau malah membutuhkan keduanya sekaligus. Yang pasti, aku perlu menjerumuskan diriku menuju ketidakpastian karena dari situlah aku tahu apa yang harus kulakukan. Dalam ketidakpastian tersebut, mungkin saja aku tidak menemukan 'aman' dan 'nyaman' yang kuinginkan. Bagiku, 'aman' dan 'nyaman' ada karena adanya pertentangan dari 'aman' dan 'nyaman' tersebut yang harus dicari. Toh, transisi menuju 'aman' dan 'nyaman' itulah yang lebih berarti dalam hidup meskipun itu di luar bagaimana seharusnya hal-hal tersebut dipikirkan. Itu yang dapat kusebut sebagai "lompatan keyakinan (leap of faith)".

Yang namanya terjatuh akan membuat diri kita terluka bila kita tidak mengusahakan pendaratan yang benar. Sembuh atau tidak, semakin sakit atau tidak, akulah yang harus membuat pilihan itu dan merancang berbagai cara untuk mewujudkannya berdasarkan pilihanku. Benturan banyak probabilitas dapat beralih menjadi sebuah keniscayaan. Aku berdialektika walaupun mungkin hanya berujung menghasilkan sebuah senandika. Aku melihat kehebatan diri seseorang dari kerendahan hatinya, bukan rasa bangganya. Aku mengetahui kelahiran dari kematian, begitu sebaliknya. Aku harus melakukan sesuatu untuk memiliki sebuah perasaan, bukannya memiliki perasaan terlebih dahulu baru kemudian melakukan sesuatu. Percayalah, sepertinya aku sudah melakukan lompatan keyakinan berkali-kali.

Dan aku masih selamat.

Mencari Nilai Diri

Suatu hari, di saat aku ingin menggali lebih dalam tentang kecerdasan emosional, aku menemukan cara untuk mengetahui nilai-nilai (values) dalam menjalani hidup. Kebetulan aku sedang ingin menentukan arah hidupku, jadinya "tersandung" hal ini cukup menguntungkan. Ya, aku harus mengidentifikasi dan mengurutkan nilai-nilai yang selama ini aku percaya. Tujuan dari nilai-nilai ini adalah untuk memastikan apakah yang selama ini kita lakukan sesuai dengan moral kita atau tidak. Selama ini, kita selalu terdorong oleh sesuatu yang membuat kita melakukan sesuatu, yaitu nilai-nilai tersebut. Seringkali, hal tersebut terjadi secara tidak sadar. Maka dari itu, kita perlu secara sadar menentukan nilai-nilai diri kita. Manfaat dari nilai-nilai ini sebenarnya sudah tersebar informasinya jika kita mau menemukannya. Aku hanya ingin menceritakan bagaimana aku melakukan yang namanya menentukan nilai-nilai ini.

Jadi, untuk menemukan nilai-nilai diri, aku harus mengingat-ingat
1) Kapan aku merasa paling bahagia? Apa yang aku lakukan? Mengapa? Faktor apa saja (orang/sesuatu) yang berkontribusi?
2) Kapan aku merasa paling bangga? Apa yang membuatku bangga? Mengapa? Faktor apa saja (orang/sesuatu) yang berkontribusi?
3) Kapan aku merasa paling puas? Kebutuhan/keinginan apa yang terpenuhi? Bagaimana caranya? Seberapa puas?

Setelah itu, aku menentukan 10 nilai yang menggambarkan kejadian-kejadian yang telah aku ingat sebelumnya dari nilai-nilai umum yang ada di bawah ini[1].

Dan nilai-nilai inilah yang aku dapat:
  • Freedom
  • Intuition
  • Honesty
  • Love
  • Leadership
  • Helping society
  • Adventurousness
  • Truth-seeking
  • Support
  • Humility

yang diurutkan kembali menjadi seperti ini:
  1. Intuition
  2. Freedom
  3. Honesty
  4. Leadership
  5. Adventurousness
  6. Love
  7. Support
  8. Humility
  9. Helping society
  10. Truth-seeking

Ini adalah tabel paired comparison analysis. Blok warna merah tidak diisi untuk mencegah membandingkan nilai yang sama dan nilai satu dengan nilai lainnya dua kali. Pilih nilai yang paling penting untuk diisi dalam sel yang bersangkutan. Kemudian, tentukan seberapa "tinggi" pilihan nilai di atas nilai lainnya dengan memberi nomor. Semakin besar nomornya, semakin tinggi nilai tersebut terhadap nilai yang menjadi pembandingnya, begitu sebaliknya. Yah, aku akui, aku mungkin melakukan kesalahan dalam penomoran nilai terpilih. Angka yang digunakan tidak perlu sebesar jumlah berapa kali nilai yang terpilih muncul. Misalnya, nilai A terpilih 8 kali pada suatu baris, jadi angka maksimalnya tidak harus sampai 8 untuk mengukur seberapa penting nilai tersebut. Kukira dengan begitu, aku bisa tahu langsung urutan nilaiku; nyatanya tidak. Seharusnya, aku tidak perlu memberi angka yang terlalu besar karena, toh, yang berpengaruh adalah total dari penjumlahan angka penilaian. (Kalau ada koreksi dari penggunaan paired comparison analysis ini, silakan beritahukan saja.)

Untuk menentukan nilai pertama dan kedua, aku masih bisa menentukan langsung. Namun, yang selanjutnya harus ditentukan dengan tabel paired comparison analysis agar aku bisa lebih presisi dalam memastikan urutan nilai-nilaiku. Agak mengejutkan, sesungguhnya, melihat hasil urutannya. Untuk tiga nilai teratas, aku kira aku bukan orang yang cukup jujur, tapi sepertinya tidak. Mungkin aku belum menyadari adanya nilai-nilai ini dalam diriku. Mungkin selama ini aku belum berhubungan dengan nilai-nilaiku sendiri. Lalu, apa doronganku melakukan sesuatu selama ini? Aku harap, aku belum terlambat menyadarinya.

Katanya, sih, nilai-nilai yang kita punya akan berubah seiring berjalannya waktu. Aku sekarang dan aku tahun depan pasti tidak sama, ada bedanya. Sepertinya, aku perlu coba mengidentifikasi nilai-nilaiku lagi dalam beberapa tahun ke depan. Katakanlah, mungkin 5 tahun lagi atau saat umurku 30-an.

Referensi:
[1] https://www.mindtools.com/pages/article/newTED_85.htm (diakses pada 7 Mei 2020 pukul 20.30 WIB)

#KronikKepemimpinan